Menyoal Bahasa Film dalam Diskusi Publik Piala Citra

Menyoal Bahasa Film dalam Diskusi Publik Piala Citra

Dyah Paramita Saraswati - detikHot
Senin, 04 Nov 2019 15:52 WIB
Halaman ke 1 dari 2
1.

Menyoal Bahasa Film dalam Diskusi Publik Piala Citra

Menyoal Bahasa Film dalam Diskusi Publik Piala Citra
Foto: (dok.Festival Film Indonesia)
Jakarta -

Festival Film Indonesia (FFI) akan kembali diadakan tahun ini. Menjelang penyelenggaraan ajang penghargaan bagi insan perfilman Indonesia itu, diadakan diskusi publik dengan tema 'Refleksi Film Indonesia'.

Diskusi tersebut berlangsung di Kinosaurus, Kemang, Jakarta Selatan pada Minggu (4/11/2019). Diskusi itu menghadirkan Totot Indrarto dari Komite Komunikasi FFI, Ben Aryandiaz Herawan dari WatchmenID dan Adrian Pasaribu dari Cinema Poetica sebagai pembicara.

Salah satu isu yang dibahas dalam diskusi tersebut adalah mengenai cara bertutur dalam film. Totot Indrarto melihat, ada pola serupa yang muncul di banyak film yang beredar di pasar. Pola seragam tersebut menggunakan gaya bercerita yang dibentuk oleh industri film di Hollywood.


Menurut Totot, industri film Hollywood menggunakan gaya bertutur yang nyaris sama -- meski tak selalu -- dalam film-filmnya sejak 1907. Gaya bertutur itu langgeng karena pada masanya, Hollywood terbilang produktif dalam memproduksi film dikarenakan negaranya relatif stabil dalam masa Perang Dunia sekali pun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini yang kemudian mengajarkan orang untuk membuat naratif di video. Teorinya ada, itu bahasa yang memang diperkenalkan oleh Hollywood, editingnya seperti apa. Hollywood itu mengajarkan tidak boleh ada bahasa film yang berlebihan karena akan mengganggu cerita," jelas Totot.



"Dalam film Hollywood itu jelas, kamu harus punya kebutuhan apa, ceritanya berfokus pada kebutuhan kamu. (Pada film Hollywood) konflk adalah datangnya tokoh yang mengganggu kamu mencapai tujuan itu, jadi tugas utama cerita film adalah membuat penonton paham tujuan karakter itu apa," sambungnya.

Bahasa film Hollywood kemudian mendunia. Film-film di berbagai belahan dunia lain mencoba melawan dengan menampilkan bahasa film yang lain. Sayangnya, bahasa film yang lain itu dianggap tidak terlalu familiar sehingga sulit diterima pasar secara masif.

"Persoalannya ketika ada pembuat film yang mau bercerita dengan bahasa film yang lain, mau menangkap bukan hanya soal cerita tapi emosi seperti banyak film Eropa atau film-film festival, penonton kadang tidak mengerti karena sudah terbiasa dengan film Hollywood," kata Totot lagi.


Menurut Totot, pemahaman bahwa ada bahasa lain dalam film selain ceritanya seharusnya dibangun dari literasi audio dan literasi visual. Sayangnya, diskursus mengenai bahasa film jarang terjadi di ruang publik.

Padahal dengan adanya bahasa film dan digunakannya gaya bertutur yang lain, film menjadi beragam dan tidak lagi terkesan seragam.


"Padahal kamera ditaruh dimana itu akan mendapat impresi yang berbeda. Misalnya dalam film Hollywood, tokoh diam, penonton dikasih tahu kalau dia sedih. Sedangkan film Eropa, tidak, dia mengambil long-shot, ditahan beberapa lama untuk penonton tidak sekadar diberi informasi, tapi bisa merasakan kesedihannya," ujar Totot.

"Informasinya sama, sama-sama menggambarkan tokohnya sedih. Tapi bahasa film yang digunakan berusaha menceritakan informasi itu dengan sesuatu yang lain," lanjutnya.

Hide Ads