Film 'Gundala' akan rilis pada 29 Agustus 2019. Karya besutan sutradara Joko Anwar itu bercerita mengenai transformasi Sancaka (Abimana Aryasatya) menjadi jagoan bernama Gundala.
Karakter Gundala pertama kali muncul dalam komik 'Gundala Putra Petir' karya Harya Suraminata (Hasmi) pada 1969. Dalam komik tersebut, karakter Sancaka merupakan seorang ilmuwan yang berupaya mencari serum anti-petir namun malah tersambar petir.
Setelah disambar petir, ia bertemu dengan Raja Petir Kronz dan diberikan kalung ajaib. Karena itu Sancaka malah menjadi manusia dengan kekuatan super.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Joko (Anwar) mencoba mengubah apa yang ada di sana (komik) supaya lebih relevan dengan (situasi) yang sekarang, kalau intisarinya tetap dijaga, memperjuangkan keadilan apa segala macamnya tetap dijaga, tapi relevansinya diubah makanya kami tidak bergantung sama komik atau filmnya dulu," kata Abimana dalam kunjugannya ke kantor detikHOT, baru-baru ini.
Sebelum 'Gundala' difilmkan versi sekarang, pada 1981, sempat ada film bertajuk 'Gundala Putra Petir' yang disutradarai oleh Lilik Sujio dan diperankan oleh Teddy Purba.
Ketika mendalami karakter Sancaka yang diperankan olehnya, Abimana memang sempat menonton film versi lamanya. Namun Abi justru tidak menemukan keterkaitan yang mendalam.
Dari situ ia menyimpulkan bahwa konteks dan hal yang ingin disampaikan dalam film 'Gundala' versi terbaru ini terbilang berbeda walaupun masih ada benang merah dan embrio yang sama di dalam cerita dan penokohannya.
"Pernah nonton (film 'Gundala Putra Petir', 1981), dan mencoba menonton lagi terakhir kali memang cukup beda sih apa yang mau disampaikan. Garis besarnya sama, tapi kisah hidupnya beda, jadi secara karakter juga beda," jelas Abi.
"Gundala yang dulu adalah seorang ilmuwan, berpendidikan, kalau Gundala yang sekarang dari kelas menengah bawah, hidup sendiri, kerja sebagai security dalam perusahaan percetakan. Jadi cara dia hidup juga udah berbeda, otomatis beda," urainya lagi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Lukman Sardi yang berperan sebagai seorang politikus bernama Ridwan Bahri di dalam filmnya. Menurutnya, perbedaan cerita itu sengaja dibuat agar penonton bisa merasa lebih dekat dengan kondisi yang ada di filmnya.
"Memang Joko, intinya dia jaga tapi memang beberapa ceritanya agak-agak dia ubah, disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi Indonesia saat ini. Jadi memang nggak ada jarak antara penonton," tutur Lukman.
(srs/doc)