'Spider-Man: Far From Home' melanjutkan apa yang sudah dibangun oleh film-film sebelumnya. Terutama apa yang terjadi setelah 'Avengers: Endgame'. Dengan kematian Iron Man (Robert Downey Jr), Black Widow (Scarlett Johansson) dan Captain America (Chris Evans), dunia masih agak berkabung. Terutama setelah apa yang dilakukan Thanos dengan menghapus separuh manusia di Bumi. Lima tahun kemudian setelah Avengers berhasil mengembalikan semua orang, dunia menghadapi suasana baru.
Dan Peter Parker alias Spider-Man (Tom Holland) masih belum tahu bagaimana dia harus bereaksi. Dia masih berkabung atas kematian mentor/father figurenya, Iron Man. Tapi dia juga masih bocah SMA. Yang masih menikmati masa-masa remaja. Dan sekarang dia dibingungkan dengan bagaimana caranya dia menyampaikan perasaan cintanya kepada MJ (Zendaya). Saking berkabungnya dengan kematian Tony Stark, Peter sampai menolak telpon dari Nick Fury (Samuel L Jackson). Happy (Jon Favreau) bahkan sampai mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang menolak telpon dari Nick Fury. Dan Happy benar. Ketika Peter bersama teman-temannya sedang study tour ke Eropa, Nick Fury datang dan mengatakan hal yang sebenarnya: ada ancaman baru. Ada serangan dari sesuatu yang diberi nama Elemental yang akan merusak Bumi. Muncullah Quentin Beck (Jake Gyllenhaal), pahlawan dari dimensi Bumi yang lain yang sedang melawan Elemental. Peter pun sekarang harus memutuskan apakah dia mau melakukan tugasnya sebagai pahlawan super ketika tidak ada lagi yang bisa menjaganya.
Bagian terbaik dari film ini (dan juga di film sebelumnya, 'Spider-Man: Homecoming') adalah kenyataan bahwa Jon Watts, si sutradara, mempersembahkan kisah Spider-Man dalam balutan genre coming-of-age. Ini membuat aura film solo Spider-Man menjadi lebih asyik untuk dinikmati, lebih easy going, lebih laidback, dan lebih relatable daripada film-film solo Marvel yang lain. Sub-plot romansa antara Peter dan MJ memang sangat aman dan sangat bisa ditebak tapi hal tersebut tetap membuat filmnya menjadi menggemaskan. Chris McKenna dan Erik Sommers dengan lumayan cerdik memberikan ancaman kepada relationship kepada keduanya dengan memunculkan karakter Brad (Remy Hii, diimpor dari Crazy Rich Asians). Walaupun penonton tidak akan pernah merasa bahwa Brad benar-benar ancaman, tapi setidaknya cukup menyenangkan melihat Peter kelabakan menyaksikan MJ didekati lelaki yang jauh lebih tampan dan dewasa darinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang mungkin patut diberikan pujian adalah bagaimana Jon Watts menggambarkan alternate reality dalam bentuk visual. Sekuens ini langsung membuat film ini menjadi lebih exciting karena aura dan moodnya sungguh berbeda dengan keseluruhan film. Editingnya mendadak menjadi lebih liar. Visualnya juga mengikuti gerak ritme adegan yang tidak ada batasan. Perubahan mood yang terjadi secara tiba-tiba seolah-olah memberikan kejutan listrik yang membuat, mungkin untuk pertama kalinya, penonton menjadi khawatir dengan nasib Peter Parker.
Tom Holland memainkan Peter Parker dengan baik, meskipun dia belum bisa mencapai level Tobey Maguire. Zendaya adalah aktor yang baik (kalau Anda menyaksikan serialnya di HBO, Euphoria, Anda akan tahu bahwa dia bukan cuman sekedar aktris cantik saja), hanya saja karakter MJ memang sangat underwritten. Jake Gyllenhaal berusaha sekerasnya untuk membuat karakternya terasa tiga dimensional. Dan Marisa Tomei tidak pernah terlihat semeriah ini.
Bagian terbaik dari 'Spider-Man: Far From Home' adalah di post credit scene pertamanya. Di situlah penonton akan diberikan kejutan demi kejutan yang akan membuat Anda bergumam, "What next?". Meskipun film ini tidak sebaik film-film Marvel yang lain setidaknya kita bisa mengakui bahwa Marvel tahu bagaimana cara untuk memastikan kita tetap antri di film mereka berikutnya.
(mau/mau)