'Spider-Man: Far From Home', Euro Trip bersama Peter Parker

Hot Review

'Spider-Man: Far From Home', Euro Trip bersama Peter Parker

Candra Aditya - detikHot
Sabtu, 06 Jul 2019 10:21 WIB
Foto: Spider-Man Far From Home (imdb.)
Jakarta - Bagi Anda pecinta film superhero, 'Spider-Man: Far From Home' akan membuat Anda bergembira ria karena film ini memberikan apa pun yang Anda harapkan dari film-film seperti ini. Adegan spektakuler yang cuman ada di film-film blockbuster? Check. Humor-humor yang bertebaran untuk membuat suasana menjadi relaks? Check. Plot romansa untuk membuat para penonton yang berpacaran semakin akrab? Check.

'Spider-Man: Far From Home' melanjutkan apa yang sudah dibangun oleh film-film sebelumnya. Terutama apa yang terjadi setelah 'Avengers: Endgame'. Dengan kematian Iron Man (Robert Downey Jr), Black Widow (Scarlett Johansson) dan Captain America (Chris Evans), dunia masih agak berkabung. Terutama setelah apa yang dilakukan Thanos dengan menghapus separuh manusia di Bumi. Lima tahun kemudian setelah Avengers berhasil mengembalikan semua orang, dunia menghadapi suasana baru.

Dan Peter Parker alias Spider-Man (Tom Holland) masih belum tahu bagaimana dia harus bereaksi. Dia masih berkabung atas kematian mentor/father figurenya, Iron Man. Tapi dia juga masih bocah SMA. Yang masih menikmati masa-masa remaja. Dan sekarang dia dibingungkan dengan bagaimana caranya dia menyampaikan perasaan cintanya kepada MJ (Zendaya). Saking berkabungnya dengan kematian Tony Stark, Peter sampai menolak telpon dari Nick Fury (Samuel L Jackson). Happy (Jon Favreau) bahkan sampai mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang menolak telpon dari Nick Fury. Dan Happy benar. Ketika Peter bersama teman-temannya sedang study tour ke Eropa, Nick Fury datang dan mengatakan hal yang sebenarnya: ada ancaman baru. Ada serangan dari sesuatu yang diberi nama Elemental yang akan merusak Bumi. Muncullah Quentin Beck (Jake Gyllenhaal), pahlawan dari dimensi Bumi yang lain yang sedang melawan Elemental. Peter pun sekarang harus memutuskan apakah dia mau melakukan tugasnya sebagai pahlawan super ketika tidak ada lagi yang bisa menjaganya.

[Gambas:Video 20detik]


Bagian terbaik dari film ini (dan juga di film sebelumnya, 'Spider-Man: Homecoming') adalah kenyataan bahwa Jon Watts, si sutradara, mempersembahkan kisah Spider-Man dalam balutan genre coming-of-age. Ini membuat aura film solo Spider-Man menjadi lebih asyik untuk dinikmati, lebih easy going, lebih laidback, dan lebih relatable daripada film-film solo Marvel yang lain. Sub-plot romansa antara Peter dan MJ memang sangat aman dan sangat bisa ditebak tapi hal tersebut tetap membuat filmnya menjadi menggemaskan. Chris McKenna dan Erik Sommers dengan lumayan cerdik memberikan ancaman kepada relationship kepada keduanya dengan memunculkan karakter Brad (Remy Hii, diimpor dari Crazy Rich Asians). Walaupun penonton tidak akan pernah merasa bahwa Brad benar-benar ancaman, tapi setidaknya cukup menyenangkan melihat Peter kelabakan menyaksikan MJ didekati lelaki yang jauh lebih tampan dan dewasa darinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain dari itu, 'Spider-Man: Far From Home' berjalan seperti sebuah pesawat auto-pilot. Tidak ada yang baru atau mengesankan dari plot utamanya. Musuhnya sama sekali tidak memberikan kesan yang mendalam. Atau bahkan ketika Jon Watts memperlihatkan siapa sebenarnya yang berbahaya, 'Spider-Man: Far From Home' tidak lantas berubah menjadi film yang super seru. Meskipun si aktor sudah berusaha keras untuk menampilkan sosok yang berbahaya, penonton selalu tahu bahwa di akhir cerita Spider-Man akan menang.

Yang mungkin patut diberikan pujian adalah bagaimana Jon Watts menggambarkan alternate reality dalam bentuk visual. Sekuens ini langsung membuat film ini menjadi lebih exciting karena aura dan moodnya sungguh berbeda dengan keseluruhan film. Editingnya mendadak menjadi lebih liar. Visualnya juga mengikuti gerak ritme adegan yang tidak ada batasan. Perubahan mood yang terjadi secara tiba-tiba seolah-olah memberikan kejutan listrik yang membuat, mungkin untuk pertama kalinya, penonton menjadi khawatir dengan nasib Peter Parker.


Tom Holland memainkan Peter Parker dengan baik, meskipun dia belum bisa mencapai level Tobey Maguire. Zendaya adalah aktor yang baik (kalau Anda menyaksikan serialnya di HBO, Euphoria, Anda akan tahu bahwa dia bukan cuman sekedar aktris cantik saja), hanya saja karakter MJ memang sangat underwritten. Jake Gyllenhaal berusaha sekerasnya untuk membuat karakternya terasa tiga dimensional. Dan Marisa Tomei tidak pernah terlihat semeriah ini.

Bagian terbaik dari 'Spider-Man: Far From Home' adalah di post credit scene pertamanya. Di situlah penonton akan diberikan kejutan demi kejutan yang akan membuat Anda bergumam, "What next?". Meskipun film ini tidak sebaik film-film Marvel yang lain setidaknya kita bisa mengakui bahwa Marvel tahu bagaimana cara untuk memastikan kita tetap antri di film mereka berikutnya.

'Spider-Man: Far From Home', Euro Trip bersama Peter Parker



(mau/mau)

Hide Ads