Matanya mengingat kejadian yang tak masuk akal itu, untung (atau sialnya), seseorang segera membawanya ke UGD. "Siapa?" tanyaku. Ia menggeleng, ada perasaan ingin tahu yang tertahan. Barangkali tanpa pertolongan itu, perjumpaan semacam ini tak akan pernah terjadi.
"Kamu nekat!" kataku, aku tatap matanya lekat, ada perasaan marah yang berhasil dienyahkannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana bisa bunuh diri kamu bilang realistis?"
"Ya, kamu laki-laki," sahutnya. "Beda denganku." Kali ini, tatapannya lebih kosong dari sebelumnya. Ia minum latte yang mulai mendingin. Cara minumnya, terasa ganjil, ada kemarahan sekaligus kelegaan. Dari sela-sela lubang jendela udara malam menyisip lebih jernih namun mencekam. Aku tak berani melanjutkan pertanyaanku, terbentang jarak yang tak terjembatani.
Tapi, mata yang sedari tadi menahan, akhirnya meleleh. Ia minum kembali latte-nya, menaruh cangkir putih yang mengkilat akibat sorotan lampu. Sebentar kemudian kembali meminumnya dan lalu menaruhnya lagi. Lagi-lagi cara minumnya itu, benar-benar asing dan aneh. "Bagaimana?" aku beranikan memecah kebuntuan.
"Bagaimana apanya?"
"Cara mengakhiri kisah cintamu itu."
Tapi ia malah ketawa. Anehnya, cara ketawa itu justru membuatku terpikat.
"Bagaimana caranya?"
"Menukar dengan kisah cinta lain."
Sejenak aku diam, ragu. "Izinkan aku membilas kisah pedih cintamu dengan cintaku."
[22:30]
Aku ceroboh, salah bilang, karena tiba-tiba ada jarak yang begitu ngeri. Namun, bukan berarti aku main-main dengan ucapanku tadi. Matanya tampak mengaca, hendak menyimpan semacam persetujuan namun masih ragu. Ya, benar, mata itu, memberiku peluang. Paling tidak aku tak perlu menanggung malu karena penolakan.
Kekasih sebelum-sebelumnya juga pernah bilang begitu. Awalnya, mereka begitu tulus seolah serius, dan akan menerima ia apa adanya. Namun, pada akhirnya mereka justru merobek luka lain yang lebih dalam. Seraya telunjuk kanannya menyentuh dada sebelah kiri seolah di sana lukanya berada.
"Aku beda," kataku meyakinkannya, "Jangan pukul rata semua laki-laki."
Pacar keduanya juga selingkuh. Itu menyakitkan. Padahal ia telah mempercayainya lebih dari apa pun. Ia kenal dengan keluarganya, begitu dekat. Tapi, lagi-lagi waktu mencipta kebosanan; ia kembali mempermasalahkan masa lalunya. Semuanya. Semua laki-laki itu sama saja.
"Tapi aku beda, percayalah, aku akan menerima apa pun itu."
Pacar ketiganya juga sama. Ia bukan petualang tubuh laki-laki, sama sekali bukan. Tapi, tubuhnya ini, selalu seperti rimba tempat para kekasihnya berpetualang. Waktu putus dengan pacar ketiganya, ia nyaris menabrakkan diri pada kereta yang ketepatan tengah melintas. Apa arti hidupnya. Ia hanya ingin diterima, cukup hanya itu. Tapi, mereka yang pernah menawarkan harapan justru yang paling dalam melukai.
"Coba tatap mataku." Matanya membasah kembali, kali ini lebih basah, lebih menyedihkan. "Apakah wajahku seperti mereka?" tanyaku.
[00:00]
Lirik Banda Neira diputar begitu lirih. Yang patah tumbuh hilang berganti/ Yang hancur lebur pasti terobati. Di samping kotak musik yang bernyanyi, putaran jarum jam telah sampai pada klimaksnya. Kini ia ingin meluncur dengan begitu sengit. Dua cangkir dan aroma saus tomat terhirup kini dibasuh keremangan malam dengan penantian dan ketakpastian.
Aku masih meyakinkan bahwa aku tak seperti para kekasihnya itu. Namun, tatapannya sedingin batu malam yang sunyi dan kosong. Ia larut ke dalam lagu itu. Benar-benar tenggelam. Tak menggubris ucapanku.
Pacar kelimanya juga begitu. Sejenak jarinya seperti menghitung, memastikan hitungannya tepat. Ia ingin membuat kisah baru, kisah cinta yang akan menghapus tiap kenangan pahit dan trauma dengan semua kekasih sebelumnya. Beberapa waktu memang berhasil, bahkan waktu itu ia benar-benar lupa semua kepahitan yang pernah tersimpan dalam laci ingatannya. Itu cuma sementara. Tak berselang lama, waktu iseng main ke kosnya, ia memergoki perempuan lain di situ.
Hatinya benar-benar tersayat. Luka yang nyaris sembuh itu kini robek lebih dalam. Penuh nanah. Luka-luka lain kembali, dan saling mengisah satu per satu. Ia ingat di ranjang mana tiap laki-laki merayu sebelum menyentuhnya. Ia tak keberatan sama sekali, tidak sama sekali. Namun, sekali lagi, ia hanya ingin memiliki sepenuhnya sebagaimana dirinya dimiliki. Ia capai membangun hubungan yang kemudian kandas begitu saja.
Kala itu ia lari ke apotek. Membeli obat sebanyak-banyaknya, lalu meminumnya sampai overdosis dan mati. Namun tampaknya apoteker itu membaca rencananya. Waktu ia minta alkohol 80% yang katanya dapat membunuh dengan sekali tenggak, petugas itu tak memberi dan beralasan bahwa stoknya habis. Padahal ia lihat sendiri beberapa botol ditata rapi di etalase alumunium itu. Ia tak membantah, namun hanya memperoleh beberapa jenis obat yang telah dihapalnya. Dari paracetamol, asam mefenamat, ambaroxol, demacolin, dan beberapa nama lain yang sulit dieja.
Ia pilih tempat yang tepat untuk mati. Dengan bunuh diri, ia dapat memilih mati pada tempat seideal mungkin. Tapi pilihannya tak muluk-muluk, hanya sebuah tempat yang jauh dari hingar bingar kota. Ia ingin mati tanpa kebisingan. Ia minum obat itu satu per satu. Namun, kemudian seorang perempuan datang mencegahnya. Ia tak menyadari, dalam perjalanan yang lunglai dan frustrasi, apoteker itu mengikutinya. Untuk kesekian kali dalam hidupnya ia gagal bunuh diri.
[02:49]
Aku lebih banyak mendengar ia bercerita. Kisah yang begitu mengerikan bagiku. Bagaimana mungkin melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri hanya untuk laki-laki. Aku sama sekali tak terima, masih ada banyak cara mengobati tanpa harus mati. Apalagi hanya untuk seorang yang brengsek semacam itu.
Awalnya, katanya melanjutkan cerita, mereka sama sekali tak brengsek. Bahkan, tak ada sedikit pun tanda kebrengsekan itu. Ia melanjutkan ceritanya seperti tengah membaca pikiranku. Brengsek hanya nama lain dari kebosanan. Kebosanan selalu dilahirkan oleh waktu.
"Tidak semua! Kamu saja yang terlalu naif," kataku tegas, "Harusnya kamu bisa menilai."
Ia lihat jam tangannya, kemudian minum sisa latte-nya yang telah lebih mendingin. Ketika itu, aku tangkap sesuatu yang aneh dari wajahnya. Semacam ketakutan sekaligus kelegaan. Mungkin karena capek cerita sampai selarut ini. Kemudian, ia menatapku lekat, menelanjangi ketulusan dalam mataku.
"Apa benar kamu mencintaiku hanya karena perjumpaan sepanjang malam ini?" tanyanya. "Kamu pasti kasihan denganku bukan?"
"Aku tulus bicara tadi," jawabku. "Kita bisa memulai kembali sambil lalu menghapus lukamu."
Ia diam beberapa saat. Awalnya, laki-laki memang begitu tulus. Tapi kemudian, seperti yang ia beritahukan tadi bahwa ketulusan selalu diuji oleh pergerakan jarum jam dan waktu yang mencipta kebosanan.
"Kamu tak masalah aku tak perawan?" tanyanya.
"Apa masalahnya?" balasku. "Kita hidup di zaman apa?"
Ia tersenyum menang. "Persis seperti itulah jawaban para kekasihnya dulu," katanya. "Kebebasan." Matanya basah kembali. Aku diam, mulai memahami apa yang dirasakannya. Itu alasan tepat bagi laki-laki untuk check in di hotel, tidur, kemudian bosan dan meninggalkan begitu saja. Ya, aku tahu itu kebebasan. Tapi, aku sama sekali tak begitu, tak ada niatan begitu. Sama sekali tidak!
Ia lihat kembali jam tangannya, seperti menunggu. Ia diam, tenang dan hening kemudian menghirup sisa latte-nya yang telah kosong. "Mau pesan lagi?" tanyaku. Ia bicara perlahan, perlahan. Ia mempercayai ketulusanku, tapi waktu selalu pandai merubah ketulusan menjadi pengkhianatan. Aku lega mendengar ucapan itu, dan berjanji dalam hati akan selalu menjaganya.
Ia kembali cerita, perlahan, begitu lirih. Bahwa ia selalu ingin bunuh diri, sayangnya selalu gagal. Kemudian ia memikirkan itu, dan mendapat jawaban, bahwa satu-satunya kesalahannya, tak pernah membikin rencana yang matang.
"Jadi, kamu masih punya rencana bunuh diri?" tanyaku tak mempercayai ucapan itu.
"Ini rencanaku," katanya lebih santai. Ia telah menyiapkan segalanya. Pertemuan denganku malam ini, kemudian membuat laki-laki di depannya --yang berarti aku-- menjadi jatuh cinta padanya. Aku menelan ludah mendengar itu, namun sama sekali tak mengerti ucapan misteriusnya.
"Aku sudah mencampur sianida ke dalam latte-ku. Campuran yang tepat, tentu setelah aku mencuri-curi belajar dari apoteker yang pernah menolong waktu itu," katanya puas. Aku tak paham, namun ada perasaan bergejolak tiba-tiba darinya, juga perasaanku.
"Barangkali, lima atau sepuluh menit setelah ini aku akan segera mati," lanjutnya.
"Jangan bergurau!" aku panik mendengar racauan itu.
"Tidak, tunggu sajalah," katanya, senyumnya begitu lega. "Aku bahagia," katanya lagi. "Setidaknya aku mengakhiri kisah cintaku sendiri ketika aku tidak sedang patah hati, ketika aku tengah mencintai dan dicintai."
Aku menelan ludah.
[03:03]
Ia tersedak setelah ucapan terakhirnya itu. Ucapannya yang baru saja kudengar benar-benar terjadi. Ia mati kini, kematian yang tak pernah terperikan. Ia benar-benar mengakhiri kisah cintanya, semua kisah yang diceritakan dengan perlahan dan begitu saja, bahkan kisah ketika ia mulai mencintaiku dan aku tengah benar-benar mencintainya.
Drei Herba T tinggal di Jogja
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)