Memaknai Hari Musik Nasional untuk Musisi dan Pendengar

Memaknai Hari Musik Nasional untuk Musisi dan Pendengar

Dicky Ardian - detikHot
Sabtu, 09 Mar 2019 09:00 WIB
Foto: Dok. Twitter @jokowi
Jakarta - Bagi musisi dan pendengar musik, 9 Maret lebih dari hari biasa. Mereka sama-sama merayakan Hari Musik Nasional sebagai bentuk pengakuan negara untuk eksistensinya.

Sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lewat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013, setiap tanggal 9 Maret ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional. Khusus bagi pelakunya, hari ini tentu berbeda dengan hari biasanya, bukan cuma karena perayaan.

Jauh dari itu, 9 Maret ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional untuk mengenang mendiang Wage Rudolf Supratman. Sang Pahlawan pencipta lagu 'Indonesia Raya' itu dianggap sebagai sosok paling bisa mewakili musik Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

9 Maret disebut adalah hari lahir WR Supratman, anak pasangan Djoemeno Senen dan Siti Senen. Namun ada juga versi lain yang menyebut ia lahir pada 19 Maret.

Namun terlepas dari perbedaan itu, WR Supratman seperti sudah membuktikan jika musik memang punya pengaruh besar, lebih dari sekadar enak dinikmati, tapi juga pemersatu bangsa.

Tak ada perbedaan untuk menyanyikan 'Indonesia Raya'. Lagu itu selalu terdengar nikmat dinyanyikan oleh siapa saja, tanpa memandang warna kulit, suku, agama dan bahasa.

Musik Indonesia saat Ini

Dari titik tersebut, musik di Indonesia sudah berkembang pesat hingga hari ini. Bahkan perkembangan juga sudah terjadi jauh sebelum Hari Musik Nasional ditetapkan.

Perjalanan musik mulai dari ide ke dapur rekaman hingga dinikmati melalui telinga pendengarnya memang punya perjalanan panjang. Bukan cuma warnanya yang terus berkembang, cara mendengarkannya pun mengalami perubahan bahkan pergeseran.

Piringan hitam, kaset, CD hingga kini dalam bentuk digital sudah pernah dilewati musik Indonesia mengikuti perkembangan zaman. Pergeseran tersebut juga membawa cara berbeda orang menghargai karya musik.

Kini, tak ada lagi kuantitas yang bisa dihargai dalam bentuk platinum misalnya. Perayaan sekian juta kopi yang laku terjual sudah samar-samar terdengar.

Kini, berada di puncak trending pada platform pemutar musik terasa lebih menggembirakan.

Musik Lebih Luas

Pergeseran tentu tidak selamanya buruk. Untuk musik, pergeseran tersebut dirasa begitu jauh lebih ke arah positif.

Pemutaran lagu digital dianggap bisa menekan angka pembajakan. Ya, untuk apa dibajak kalau mendengarkannya sudah gratis?

Distribusinya juga jadi lebih luas, bahkan tak ada lagi batasan jangkauan. Siapapun, di manapun, kapanpun bisa menikmati musik yang mereka suka. Kurang cocok, next.

Gairah pemusik juga seperti tak bisa dibendung. Saat ini, mungkin sudah tidak ada lagi perbedaan musik keluaran major label dengan indie label. Semua punya kualitas serupa sama baiknya.

Mudahnya jalan membuat karya juga melahirkan musisi berbakat baru. Mereka yang tadinya hanya penikmat kini karyanya bisa dinikmati lebih banyak orang.

Kreativitas tersebut pun akhirnya mendobrak banyak pakem yang selama ini ada. Genre musik baru lahir, bahkan yang lama tak terdengar pun dibangunkan lagi.

Dangdut sebagai musik khas Indonesia pun terus berdendang. Bahkan genre ini makin berkembang dengan hadirnya festival musik dangdut pada tahun ini.

Irama yang Terpenjara

Tapi ternyata luasnya jenis musik dan lirik di dalamnya tak bebas. Indonesia disebut-sebut hampir mengalami kemerosotan karena Rancangan Undang-undang Permusikan yang tiba-tiba membuat gaduh.

Alih-alih merangkul musisi dan industrinya dengan aturan, RUU Permusikan malah dianggap mengancam mereka. Kreativitas mereka dikekang dengan beberapa pasal di dalamnya. Musisi diminta seragam dengan sertifikasi.

Hal itu membuat gelombang protes begitu tinggi. Musisi merespons dengan kekuatan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Berbagai jalan mereka lakukan, mediasi hingga mengancam akan melakukan aksi besar jika RUU Permusikan tetap menjadi prioritas di Program Legislasi Nasional.

Di tengah kegaduhan yang ada, Konferensi Meja Potlot bagaikan oase di padang pasir. Kedua (atau tiga karena ada yang ingin revisi) melunak dan sepakat untuk menghentikan perjalanan RUU Permusikan. Anang Hermansyah selaku orang yang disebut-sebut punya andil besar pada rancangan tersebut pun mengamini hal itu.

Kerikil perjalanan musik tersebut tentu melahirkan hal positif lainnya. Musisi tampak indah merapatkan barisan. Solidnya mereka seakan tak melihat warna musik dan dari mana label mereka berasal.

Kesempatan untuk musik Indonesia menjadi lebih besar memang terbuka lebar. Tak perlu permasalahkan batasan, bernyanyi dan nikmatilah.

Selamat Hari Musik Nasional!



(dar/nu2)

Hide Ads