Celeng Manyura

Cerita Pendek

Celeng Manyura

Dadang Ari Murtono - detikHot
Minggu, 27 Jan 2019 10:28 WIB
Ilustrasi: Anggi Dimas Ramadhan/detikcom
Jakarta - Ada dua kemungkinan: ia terlalu bodoh atau ia terlalu lugu untuk dunia ini.

Ketika hunjaman linggis pertama mendarat tiga sentimeter di depan moncongnya dan menutup jalan pelariannya, ia teringat batu-batu kali Mrasih yang ia lompati beberapa saat lalu, anggang-anggang yang mengambang di antaranya, Mat Rai yang tengah jongkok di balik semak di tepi kali dan menyapanya, juga angin sore yang menyelinap ke balik rambutnya.

"Ambil kayu," itu yang ia sampaikan untuk menjawab sapaan Mat Rai yang tengah mengedan. Ia meludah menyaksikan bongkahan-bongkahan meluncur dari bagian bawah Mat Rai yang tak bercelana. Ia menyesal telah menengok. Ia mempercepat lompatan-lompatan kecilnya. Ia hampir terpeleset pada lompatannya yang terakhir, sebelum berhasil menyeimbangkan diri dengan merentangkan kedua tangan. Ia menghela napas panjang. Seekor kodok melompat di depannya, menoleh ke arahnya, mengorek sekali sebelum menghilang di balik semak pahitan. Ia berjalan tanpa menoleh lagi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jalan yang ia tempuh sesungguhnya bukan jalan yang mudah. Namun, baginya itu bukan jalan yang sulit. Putri malu menjulur di sana-sini. Setapak licin. Di beberapa bagian kabut sudah turun. Ia mesti berhati-hati supaya tidak tergelincir ke jurang di sisi kiri. Ia sudah sering lewat situ. Pertama untuk mencari kayu bakar. Kedua untuk menghabiskan waktu. Pada kedatangannya yang terakhir, ia melihat ekor besar yang muncul dari balik batang trembesi, bergerak ke atas ke bawah sebelum lenyap di balik kerimbunan semak di belakang pohon. Ia sedang mencari kayu bakar waktu itu. Ekor yang ia lihat loreng hitam-kuning. Segera saja ia tahu bahwa itu ekor harimau.

Tubuhnya mendadak kaku. Keringat terbit di sekujur tubuhnya. Dan, ia tahu itu bukanlah keringat akibat mencari kayu bakar. Beberapa detik kemudian, sewaktu sudah mendapatkan kendali atas dirinya sendiri, ia berbalik arah dan berlari meninggalkan seikat kayu bakar yang tinggal diangkat. Dua kali ia tersungkur akibat terjerat sulur semak dan tersandung sembulan akar pohon sebelum sampai di batas hutan. Hanya keberuntungan yang membuat ia tidak terjungkal ke dalam jurang dalam pelarian yang mengerikan itu.

"Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihatnya," kisahnya kepada orang-orang di warung beberapa jam kemudian.

"Seharusnya kau tidak mencari kayu di sekitar trembesi itu," komentar orang-orang.

Orang-orang percaya kepada ceritanya, tentu saja. Orang-orang tahu ia terlalu lugu atau terlalu bodoh untuk berbohong. Reputasinya sebagai orang yang terlalu jujur sudah menyebar ke mana-mana. Dan, itu membawa akibat ganda kepada dirinya. Pertama ia disukai banyak orang. Kedua, ia berulangkali dikucilkan dari pergaulan. Pada masa-masa remaja, ia nyaris tidak memiliki teman. Kawan-kawan sepantarannya, yang kerap menghabiskan waktu dengan menenggak arak murah dan membakar ayam sebagai tambul, tak mau ambil risiko dengan mengajaknya. Itu akan membahayakan mereka.

"Manyura pasti akan mengatakan bahwa ayam ini kita curi dari Mak Ti kalau ada yang bertanya," kata mereka.

Kejujuran itu juga kerap menjadi pemicu pertengkaran dalam rumah tangga setelah ia menikah. Ia tidak pernah mampu menolak godaan bermain kartu di gardu poskamling. Istrinya paling sebal dengan hal itu.

"Kau tahu berapa penghasilanmu? Kalau kau terus berjudi, mau makan apa kita?" rutuk istrinya senantiasa. Rutukan itu, pada lain kesempatan sewaktu kebutuhan perut sudah terpenuhi, direvisi menjadi: apa kau kira perempuan itu cuma butuh makan? Terus mana jatah untuk bedak, untuk lipstik, untuk minyak wangi, untuk baju baru? Dasar lelaki tolol!

Berkat kejujuran dan ketiadaan kemujuran dalam bermain kartu, ia nyaris selalu kalah. Barangkali persoalan dalam rumah tangganya akan teratasi bila ia pulang judi dalam kondisi menang besar. Sayangnya, sepanjang kariernya sebagai penjudi, ia tidak pernah mengalami kemenangan besar. Keberhasilannya yang paling gemilang dalam perjudian kartu di gardu adalah membawa pulang uang dua belas ribu rupiah, kurang lebih tiga bulan yang lalu.

Kawan-kawan bermain kartunya kerap menyarankan agar ia tidak mengaku berjudi taruhan bila istrinya bertanya. Namun, ia tidak pernah bisa mempraktikkannya.

"Aku tidak tahu caranya," katanya suatu kali.

"Kau hanya harus berkata kau tidak berjudi," ujar kawan-kawannya meyakinkannya.

"Tapi, aku memang berjudi. Lidahku tidak bakal mampu mengatakan aku tidak berjudi sementara aku memang berjudi."

Kawan-kawannya menyerah.

Pertengkaran dalam rumah tangga itu kian lama kian membara, dan meluas ke hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan perjudian. Segala sesuatu yang ada pada dirinya seakan bisa membuat istrinya uring-uringan -ketiaknya yang kecut, rambutnya yang tidak tersisir, ia ke warung terlalu lama, dan sebagainya. Puncaknya terjadi siang hari sebelum sore harinya ia bertemu Mat Rai ketika menyeberang kali. Istrinya, yang jengah lantaran ia mogok mencari kayu bakar berhari-hari, memakinya sebagai lelaki terkutuk yang tak pantas hidup di dunia. Ia baru bangun waktu itu setelah malam harinya begadang bersama teman-temannya di gardu pos kamling.

"Lebih baik kau mampus!" raung istrinya dengan mata merah dan ludah menyembur-nyembur. "Kau terus-terusan menghamburkan uang di gardu poskamling sementara tidak ada pemasukan sama sekali. Ayo, pergi bekerja sana!"

"Aku bukannya tidak mau mencari kayu bakar. Tapi, kau tahu kan kalau terakhir kali aku ke sana aku ketemu macan?" ia berupaya membela diri.

"Kau tahu," kata istrinya. "Macan itu binatang suci. Tidak semua orang bisa ketemu macan di hutan. Ia penjaga hutan Mrasih. Itu berarti kau beruntung bisa bertemu dengannya. Seharusnya kau tidak takut. Seharusnya kau mengucapkan permintaan sebelum macan itu menghilang. Dasar kau tolol!"

Istrinya masih menyemburkan ribuan makian lagi. Menjelang sore, dengan langkah lemas, ia menuruti perintah istrinya untuk kembali ke hutan Mrasih, menjemput seikat kayu bakar yang ia tinggalkan satu setengah pekan di sana.

Beberapa saat setelah menyeberangi kali, ia tiba di tempat di mana dulu ia tinggalkan seikat kayu bakarnya. Di bawah trembesi besar -terbesar di hutan itu. Jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin kembali menyembul di keningnya, persis seperti terakhir kali ia berada di sana. Ia melangkah pelan sekali, nyaris melayang untuk menekan suara yang ditimbulkan tapak kakinya. Ia takut harimau yang ekornya ia lihat akan muncul kembali dan menerkamnya. Tapi, harimau itu tidak ada di sana. Begitu pula seikat kayu bakar yang ia tinggalkan. Ia celingak-celinguk, kali ini murni untuk mencari kayu bakarnya dan bukannya memastikan bahwa si harimau tidak ada di sana.

Ia melihat kuntum bunga-bunga kering, beberapa batang dupa yang habis terbakar, dan tiga kendi tanah liat. Trembesi itu konon pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga ber-tawasul selama tujuh hari sebelum bertemu Kanjeng Nabi Khidir dan mendapat hadiah jubah perang yang sanggup melindungi Sang Wali dari senjata tajam dan kelak akan digunakan dalam perang antara Demak melawan Majapahit. Orang-orang percaya berdoa di situ harapan dan keinginan akan gampang terwujud.

Ia menatap langit di balik gerumbul dedaunan. Ia tahu sudah terlalu sore untuk mengumpulkan kayu bakar. Ia tidak mampu membayangkan reaksi istrinya bila ia pulang tanpa membawa kayu bakar. Menyadari posisinya yang sulit, ia duduk dan menyandarkan punggungnya di pangkal trembesi besar tempat ia pernah melihat ekor belang kuning hitam yang menakutkannya dulu menyelinap.

Ia memejamkan mata karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia menundukkan muka. Dalam keputusasaannya ia menggumam, "Jadikan aku apa pun selain manusia agar tak perlu lagi menderita, agar tak perlu lagi menghadapi istri yang cerewet."

Tiga kali ia mengulang gumaman itu. Dan, ketika membuka mata ia mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor celeng. Celeng hitam besar dengan sepasang taring mencuat dan moncong berliur. Ia terkejut. Awalnya tentu saja ia tidak menyadari kenyataan itu. Ia mencoba menggerakkan tangan dan susah. Ia mencoba menengok dan susah. Itulah saat ia, dengan pelan dan hati-hati, memeriksa dirinya sendiri dan menyaksikan bulu-bulu kasar hitam tubuhnya.

Keterkejutan itu tidak berlangsung lama. Ia menyadari keinginannya telah terpenuhi. Sebelumnya, berkali-kali ia berdoa di bawah pohon itu supaya mendapat banyak rezeki dan istrinya jadi lebih sabar. Berkali-kali pula doa-doa yang ia panjatkan dengan sepenuh hati itu muspra belaka. Kini, ketika ia berharap supaya dirinya menjadi sesuatu yang lain selain manusia, sebuah harapan yang lahir dari kekalutan dan kekacauan berpikir dan lebih pada keluhan ketimbang doa, justru terkabul. Alangkah anehnya cara kerja doa.

Kegembiraan menyelimuti dirinya, meresap ke segenap pori-porinya, menguapkan ketakutan yang melandanya karena mustahil mendapatkan seikat kayu bakar seperti yang diperintahkan oleh istrinya. Dengan girang ia bangkit dengan keempat kakinya dan berlari pulang. Ia sedikit kaget menyadari bahwa sebagai celeng kecepatan larinya jauh lebih tinggi ketimbang sewaktu menjadi manusia. Namun, kecepatan itu mesti ia tebus dengan kesulitan membelok. Ia berlari lurus dan lurus.

Hari menjelang magrib sewaktu ia memasuki gerbang kampung. Jumali si marbot adalah orang pertama yang ia jumpai. Lelaki itu sedang menuju masjid untuk mengumandangkan azan. Ia bermaksud menyapa, namun Jumali justru terbirit-birit meninggalkannya, dan hampir terjungkal karena langkah kakinya terhalang sarung. Ia kemudian berjalan pelan di jalan kampung. Itulah saat Jumali muncul kembali dari ujung jalan beserta beberapa orang dengan kegaduhan yang luar biasa. Mereka berteriak-teriak. Mereka berbekal aneka senjata tajam di tangan.

"Babi ngepet! Babi ngepet! Ada babi ngepet!"

Teriakan mereka mengundang penduduk lain untuk keluar dari rumah masing-masing, lantas merubungnya. Ia sudah kehilangan keterampilan berbahasa manusia untuk menjelaskan bahwa ia adalah Manyura, si pencari kayu bakar, si orang paling jujur seantero kampung. Namun, dengan sedikit harapan yang tersisa ia mencoba mengeluarkan kata-kata. Dengusan keluar dari moncongnya. Matanya berair.

"Lihat, ia menangis," seru Jagabaya. "Tak diragukan lagi, ia benar-benar babi ngepet. Hanya babi ngepet yang masuk kampung pada saat-saat seperti ini. Hanya babi ngepet yang menangis karena menyadari ia ketahuan."

Ia tahu, kematian sudah begitu dekat kepadanya ketika hunjaman linggis yang dihempaskan Jagabaya mendarat beberapa sentimeter di depan moncongnya, menghalangi satu-satunya jalan menuju celah dari kerumunan itu yang bisa ia gunakan untuk kabur.

Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016) dan Samaran (novel, 2018). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Hide Ads