Lembaran Cerita yang Terbengkalai

Cerita Pendek

Lembaran Cerita yang Terbengkalai

Marliana Kuswanti - detikHot
Sabtu, 26 Jan 2019 10:25 WIB
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Rodus terjaga dalam kelengangan yang menyiksa. Rasa-rasanya, semalam saat ia naik ke dipan, segala sesuatunya baik-baik saja. Ia bahkan sempat menyelesaikan satu lagi ceritanya setelah tiga cerita pada pagi, siang, dan sore; setiapnya cukup dalam beberapa menit saja, tak sampai satu jam. Seharusnya itu membuat harinya terasa luar biasa atau setidaknya normal. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia dan ia layak bertepuk tangan atas produktivitasnya sendiri.

Tetapi, kali ini sepertinya ada yang keliru. Kelengangan yang menyiksa seperti ini seharusnya hanya menghampirinya saat ia menghabiskan seharian penuh hanya untuk satu cerita pendek yang tidak memuaskan atau bahkan tak ada cerita sama sekali. Jadi, di mana letak kesalahannya sehingga memanggil kelengangan itu pada saat performanya terasa begitu baik?

Rodus meraba-raba meja di samping dipan di tengah kegelapan. Bahkan bulan pun tertutup mendung. Cangkir sengnya jatuh, memecahkan kelengangan itu sebelum dengan begitu segera mengembalikannya bulat-bulat, seperti orang yang dihantui perasaan bersalah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ah, perasaan bersalah. Rodus merasa dadanya dihantam oleh perumpamaan yang lahir dari pikirannya sendiri. Ya, mungkin rasa bersalahlah yang telah mengundang kelengangan itu. Kelengangan yang kejam, karena ia bahkan tak perlu melakukan apa-apa lagi selain menjadi kelengangan itu sendiri dan dengan hebat menyiksa Rodus.

Rodus menarik napasnya yang berat dan mencoba menggambar kembali denah rumahnya dalam kepala. Persis di depan pintu tripleks kamarnya yang sempit dan berjendela satu ini, adalah ruang yang memanjang dan menjadi ruang tamu sekaligus ruang tengah sampai mentok belakang sekalian. Lalu persis di samping kamarnya adalah dapur yang kecil sekali dan kamar mandi yang lebih kecil lagi. Tidak, Rodus tidak menyesali kamar mandinya yang sekecil itu. Ia tak pernah ingin berdansa tiga putaran di dalamnya.

Tetapi, ya, ia tak punya satu pun kursi, di dalam maupun di teras rumahnya. Bahkan tak satu pun bunga atau tanaman tak berbunga tumbuh di halaman rumahnya. Ia hanya punya satu meja, meja kecil dan rendah, tempatnya setiap hari bekerja sambil duduk di lantai atau beralaskan karpet ketika suhu berpotensi membekukan lubang pantat dan membuat perutnya kembung. Karpet yang juga tidak baru.

Dan buku. Ya, buku. Buku yang banyak, menjulang dari lantai sampai nyaris menyangga plafon, merapat pada dinding-dinding sehingga orang yang baru pertama kali memasuki rumah Rodus pasti akan menyangka rumah itu tipuan. Tampak berdinding sebagaimana dinding rumah pada umumnya dari luar, tetapi jika dilihat dari dalam ternyata tersusun dari buku-buku, bukan batu bata.

Rodus juga pernah berpikir bagaimana jika suatu saat buku-buku itu runtuh, seperti tebing yang longsor, tepat saat ia masih duduk di depan meja kecilnya, sibuk memikirkan kata-kata terbaik untuk ceritanya. Namun, pikiran itu hanya muncul sebentar sekali, tak sempat mengusiknya lebih jauh. Jika boleh memilih, ia bahkan lebih suka mati tertimbun koleksi bukunya saat sedang berusaha menyelesaikan ceritanya. Lengkap dengan pena di tangan atau mesin ketik di hadapan, Rodus pikir itu cara mati yang seksi sekali sekaligus sangat heroik.

Tetapi, masalah yang sesungguhnya bukanlah buku-buku itu atau ketiadaan satu pun kursi dan tanaman di rumahnya, melainkan ketiadaan orang selain Rodus sendiri. Ya, di tengah kelengangan yang semencekam ini, Rodus seperti dibangunkan dari mimpi-mimpinya yang seakan-akan abadi.

Rumah ini tak mengandung napas siapa pun selain napasnya sendiri. Rumah ini berdenyut hanya oleh satu jantung yang kian tua saja. Tak pernah ada tamu yang berkunjung, juga tidak sanak saudara. Sekalipun Rodus punya banyak sekali buku dan cerita asli buatannya yang siap menyambut mereka sewaktu-waktu. Dan, itu telah berlangsung sejak rambut Rodus hitam sampai kini memutih, nyaris semuanya.

Rodus bangkit dari dipan. Tak tertarik untuk menarik sakelar gantung. Ia berdiri di depan cermin yang tentu tak menawarkan apa pun selain kegelapan. Rodus meraba cermin itu, mengabaikan cangkir sengnya yang tergeletak di dekat telapak kaki kirinya dengan genangan air yang membuat sebelah kakinya dingin selagi sebelah lagi hangat. Inikah yang disebut timpang?

Rodus membawa satu lagi tangannya ke dadanya. Melakukan yang sama seperti yang dilakukannya pada cermin itu, meraba-raba. Ia menghitung tulang rusuknya, merasakan kulit dada dan perutnya yang telah menggelambir, lalu tangan itu naik ke wajah. Ia lupa kapan terakhir kali bercukur. Tetapi, ia ingat betul dahulu tak bercukur sebulan penuh pun kulit wajahnya tak terasa sekasar ini.

Ah, dahulu. Rodus menyakiti dirinya sendiri. Seberapa jauhkah dari sini yang ia sebut dengan dahulu itu? Sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun lalu? Rodus tak dapat mengingatnya dengan tepat. Ia telah mempersembahkan terlalu banyak umurnya, yang berarti juga kemudaannya, untuk cerita-cerita yang dicintainya lebih dari apa pun. Dan, ia berharap orang-orang juga mencintainya dengan besaran cinta yang sama dengannya.

Rodus menolak tudingan orang-orang bahwa ia mengagung-agungkan dirinya sendiri yang menjelma dalam bentuk gagasan-gagasan, lalu jadilah cerita-cerita itu. Tetapi, jauh di lubuk hatinya Rodus mengakui orang-orang itu bahkan lebih mengenalnya ketimbang dirinya sendiri.

Tangan di wajah Rodus kembali turun ke dada. Jari-jarinya bahkan terasa lebih kaku dan kasar daripada pada suatu masa yang entah, saat tiba-tiba Rodus memindai ada satu titik nyeri di dadanya. Rodus memutar-mutarkan jarinya di sekitar titik itu, sedikit menekannya, dan ia nyaris menjerit dibuatnya meski sungguh ia bukan orang yang cengeng.

Di balik jendelanya yang berkotak enam, mendung telah bergeser. Sinar bulan menerobos jendela itu, mengenai cermin, dan membuat Rodus membesarkan bola mata pada bayangan di hadapannya.

Ada yang berpusar di titik nyeri itu. Rodus membungkuk sedikit dan kian mendekatkan wajah untuk melihat lebih jelas bayangan dadanya sendiri. Seperti air. Atau, pasir putih. Sesuatu berkedalaman tak terkira. Rodus telah lebih dari cukup usia untuk mengerti bahwa hidup kadang tak memberikan pilihan-pilihan yang cukup baik.

Maka Rodus memberanikan diri untuk mencelupkan telunjuk tangan kanannya ke pusaran itu. Dan, ia tahu, sekali masuk ke sana belum tentu ia akan dapat kembali keluar. Begitu ujung jarinya menyentuh dada, tanpa ampun pusaran itu menarik dan menenggelamkan seluruh tentang Rodus.

Rodus bahkan tidak sempat berteriak. Tidak sedikit pun. Yang memecah kelengangan di sekitarnya maupun yang menggema dalam dadanya sendiri dan menghancurkannya.

***

Rodus tersentak. Kedua telapak kakinya sedingin es dan bulan di balik jendelanya masih awet tertutup mendung. Ia sama sekali tidak ingin meraba dadanya apalagi dipannya yang selalu hanya berisi ia seorang. Rodus menata napas sebelum menurunkan kedua kaki. Ia meraba-raba jalan menuju pintu tripleks, tak tertarik menarik sakelar gantung.

Menerobos keremangan cahaya bohlam kuning, di atas meja kecil di ruang tengah yang sekaligus ruang tamu, ia menemukan lembaran ceritanya yang terbengkalai. Lembar paling atas baru terisi setengah halaman saat ia memutuskan untuk meninggalkannya. Rodus kesulitan menemukan kata-kata terbaik untuk ucapan salah satu tokohnya yang kurang lebih ingin mengatakan:

"Kau bisa mencariku setelah kau menemukan kewarasanmu dan mendapatkan pekerjaan yang masuk akal untuk menghidupi keempat anak kita. Mungkin aku akan kembali. Tetapi, aku bahkan tak keberatan jika kau terlebih dahulu menemukan dan membawa pulang gadis pertama yang tergila-gila akan rangkaian kata-katamu begitu aku menutup pintu. Kami butuh kepastian beras dan susu dan telur dan ikan dan daging dan sayuran dan buah-buahan, Rodus. Bukan semua omong kosongmu itu. Kau bahkan tak sanggup membawa bungsu kita ke dokter dan hanya berusaha menghiburnya dengan semua omong kosong yang sama sekali tak meredakan tangisnya...."

Untuk kesekian kalinya dalam tahun yang banyak, Rodus kembali merasakan nyeri yang hebat di dadanya. Jauh lebih hebat daripada yang ada dalam mimpinya. Bukankah itu percakapan yang terlalu usang untuk dituliskan kembali?

Ah, andai kau tahu, Rahimsa. Jangankan gadis yang tergila-gila, rumah ini bahkan tak pernah disinggahi seorang pun tamu. Sekalipun aku punya banyak sekali buku dan cerita untuk menyambut mereka sewaktu-waktu. Termasuk kau dan keempat anak kita, hanya jika kalian ingin kembali. Sudah sebesar apa mereka sekarang, Rahimsa? Tidakkah mereka pernah bertanya tentang seorang lelaki yang menyayangi mereka dengan cerita-ceritanya? Ataukah mereka bertanya, "Apakah pecundang itu sudah mati, Ibu?"

Oh, Rahimsa, sampai kapan perih ini hendak kau titipkan?

Surakarta, 5 Januari 2019

Marliana Kuswanti telah menerbikan dua novel, Sepasang Angsa Putih untuk Palupi (Bhuana Sastra, 2017) dan ABADI TAILOR, Mengejar Cinta Tifanny (Bhuana Sastra, 2018). Cerpennya tergabung dalam antologi bersama cerpen-cerpen eksperimental berjudul Tidak Ada Surga Bagi Manusia (Basabasi, 2018)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Hide Ads