Dari panggung teater, nama Ratna Sarumpaet kembali naik dikenal publik. Aktivitas keseniannya tak hanya dari satu panggung teater ke teater lainnya maupun menjadi penulis naskah drama, ia juga dikenal menulis sejumlah novel fiksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Maluku Kobaran Cintaku: Sebuah Novel
Pada Desember 2010 lalu, Ratna meluncurkan novel berjudul 'Maluku Kobaran Cintaku' di kota Ambon. Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional, novel tersebut diluncurkan dan dipersembahkan pada rakyat Maluku.
Novel setebal 512 halaman yang diterbitkan oleh Komodo Books menceritakan tentang sekelompok anak muda (Mey, Aly, Melky Ridwan,Peter dan Aisah) yang terjebak dalam konflik yang menggerus kerukunan antarsuku dan agama.
Novelnya menghadirkan sosok anak muda yang tak ingin Pela Gandong terkoyak dan terus menyuarakan perdamaian. Dalam berbagai sumber, novelnya juga diluncurkan di Belanda pada Juli 2011.
2. Alia, Luka Serambi Mekah
Naskah drama teater yang dibukukan ini menceritakan tentang seorang tokoh bernama Alia yang merupakan putri Cut Nyak seorang pemimpin dari sebuah pesantren. Dilansir dari situs pribadi Ratna Sarumpaet, karakter Ali yang dimainkan oleh dirinya sendiri bukan seseorang yang menjadi lemah maupun putus asa.
Perlawanan yang dilakukan Alia semata-mata adalah perlawanan moral yang tanpa kekerasan. Ia berusaha menyadarkan masyarakat betapa arwah sekalipun layak memperoleh penghormatan. Serta untuk itu ia mengajak mereka menggali tulang belulang korban pembantaian yang ia ketahui dikubur dengan tak beradab di hutan untuk kemudian dikuburkan sesuai yang diamanahkan Allah.
3. Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah
Diterbitkan oleh Bentang Pustaka, naskah drama teater 'Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah' pun dibukukan. Lewat naskah drama ini, nama Ratna Sarumpaet pun melambung. Di bawah kelompok Teater Satu Merah Panggung, pentasnya berlangsung di tahun 1994 di TIM Jakarta, Teater Arena ASTI Bandung, dan Teater TBS.
Dari fakta yang terungkap, kematian Marsinah bukan kasus kriminal biasa. 'Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah' dinilai pengamat sebagai keberanian menelanjangi kebobrokan para penentu kebijakasanaan di negeri ini secara rinci.
Dari sudut estetika, beberapa kritikus menilainya terlalu verbal. Naskah yang pekat dengan kemarahan dan kesedihan ini menurut mereka, membuat pertunjukan yang memakan waktu 2 jam ini menjadi sangat menekan.
(tia/ken)