Salah satunya dengan menggelar acara screening di tengah kampung atau istilah nobar yang kerap disematkan.
"Tadinya screening itu di sini. Dari bioskop mini 10 orang, kita bikin layar tancap di luar, nggak cukup juga karena kurang representatif. Kenapa nggak pakai ruang balai RW salah satunya," tutur salah seorang pendiri MES 56 Wimo Ambala Bayang saat ditemui detikHOT, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Lewat film-film yang dipertontonkan, lanjut Wimo, hal tersebut bisa mendekatkatkan diri maupun mengenalkan bentuk kesenian pada warga. Selain itu, mereka pernah ada program foto keluarga.
"Itu juga dekat dengan mereka, sudah dipraktikkan tapi kan mereka nggak punya kesadaran kalau ini bisa jadi arsip dan bisa dikritisi," lanjutnya lagi.
Tak menggelar screening saja, MES 56 juga membuka ruang pada seniman-seniman yang ingin mengikuti program residensi (berkarya lalu menetap).
"Ada workshop, artist recidency, cafe society yang reguler, dan juga laboratorium sejarah yang adalah program lainnya," pungkas Wimo.
Simak artikel berikutnya.
(tia/tia)