Di pameran kolektif berjudul 'Made of: Stories of the Material', Yahya menampilkan karya seni instalasi dengan medium video berjudul 'Regime of Truth' yang dibuka 5 Mei lalu. Tak sendirian, ia berkolaborasi dengan Gintani Swastika dari ACE House Collective.
Medium video yang dikeduanya dengan tetap mengkritik isu persoalan urban. "Ini kayak kita bikin karaoke tapi liiknya ngajak pengunjung buat nyanyi bareng," tutur Yahya ketika mengobrol dengan detikHOT di Galeri Lorong, Kasihan, Bantul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka mengambil kisah yang populer 'Lapen Santoso' minuman beralkohol lokal. Lapen adalah nama minuman lokal hasil produksi rumah tangga yang menggunakan fermentasi beras, dan kemudian dicampur dengan ramuan tradisional seperti: cengkeh, kayu manis, kayu sappan, ginseng Korea, pasak bumi, pala, gula, buah ular, dan sawo.
Resep ini telah digunakan oleh Santoso Suyanto sejak 1985 dengan nama 'jamu Santoso' (rempah Santoso). Saat ini, publik mengenalnya sebagai lapen karena logo yang digunakan oleh penjual lain di lapak jualan Santoso.
Dari cerita tersebut, mereka pun mengemasnya menjadi lebih populer. "Secara wacana isu urban sering diangkat oleh Yahya. Kalau Yahya drawing, aku biasanya sulam. Kolaborasi kami ada di wilayah ide dan fenomena minuman keras oplosan ini marak banget di kita," timpal Gintani.
Dengan medium video, Yahya berhasil keluar dari zona nyaman.
"Ini karya yang beda banget, meski aku tetap mengkritik persoalan urban," lanjut seniman yang berkarya menggunakan pendekatan lowbrow.
Sebenarnya, tambah Gintani, karya keduanya tentang siasat, negoisasi, serta privatisasi pengetahuan. "Yang kita tahu selama ini adalah fenomena alkohol oplosan ini. Kalau kita lihat persebarannya yang terjadi adalah akses mendapatkan minuman, ketika dibatasi ada permintaan yang tinggi, dan bahannya jadi tidak terkontrol," jelas Gintani.
Karya keduanya masih bisa dilihat di Galeri Lorong, Dusun Jeblok Dukuh RT 01, Kasihan, Tirtonirmolo, Bantul, Yogyakarta, hingga 30 Mei mendatang.
(tia/tia)