Teater Arsip yang meneliti praktik penelitian arsip pertunjukan teater fokus pada era Jepang. Istilah 'propaganda' sengaja dipakai tim kuratorial Teater Arsip dan DKJ untuk meneliti lebih mendalam soal apa yang terjadi di Hindia Belanda (Indonesia) saat itu.
"Selama 3,5 tahun kependudukan Jepang, Jepang langsung buat platform bukan ekosistem. Jepang juga membuat pusat kebudayaan dan organisasi seni," kata Ketua Komite Teater DKJ Afrizal Malna saat jumpa pers di Teater Kecil, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Senin (7/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami mencoba menjelajahi aspek yang mengejutkan. Di bagian seni visual dari yang dipamerkan, ada beberapa yang dibawa dari luar Indonesia. Misalnya saja copyright dari Lembaga Seni Perang dan Genosida di Jepang, MORI Art Museum, dan data dari keluarga seniman Jepang," kata pria yang menyiapkan pameran ini sejak sebulan lalu.
Setelah Jepang menjatuhkan pemerintahan Hindia Belanda di 1942 saat itu Perang Dunia II sedang berkobar. Di tahun itu juga pemerintahan Jepang mendirikan Sekolah Tonil. Setahun kemudian, Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Di 1944, mendirikan Pedagang Sandiwara Djawa yang menggerakkan bidang kesenian seperti teater, seni rupa, sastra, film, dan musik.
Ia menceritakan kalau ide menggelar pameran arsip ini dimulai sejak pertemuannya dengan Afrizal sejak 8 bulan yang lalu. "Saya merasa senang karena ini pertama kalinya institusi di Indonesia menggelar pameran arsip dan riset, yang mungkin saja dianggap tidak pernah penting," lanjut Antariksa.
Dalam pameran Teater Arsip ke-2, nantinya akan ada karya instalasi yang berisi biografi dari nama-nama seniman dan penulis Indonesia yang berkolaborasi dengan Jepang, 14 film propaganda termasuk film 'Pelajaran Bahasa Indonesia di Jepang', hingga performatif mural serta performance art.
![]() |
"Tapi yang kami pamerkan ada 68 nama seniman di lobi Teater Kecil," tukas dia.
Teater Arsip berlangsung pada 7-10 Mei 2017 di Teater Kecil dan Lobi Teater Kecil, kompleks TIM, Jakarta Pusat. (tia/dar)