Melihat Chairil Anwar di Panggung 'Perempuan-Perempuan Chairil'

Melihat Chairil Anwar di Panggung 'Perempuan-Perempuan Chairil'

Dyah Paramita Saraswati - detikHot
Minggu, 12 Nov 2017 09:35 WIB
Foto: Pentas Perempuan Perempuan Chairil (Image Dynamics)
Jakarta -

Selama ini kita mengenal Chairil Anwar sebagai sosok penerjemah dan penyair besar yang nama dan karyanya tertulis dalam buku ajar pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Chairil Anwar juga lekat dengan citra seorang "binatang jalang" yang urakan dan gelisah.

Terlepas dari berbagai cerita mengenai Chairil Anwar dengan nama besar hingga sajak-sajak bertemakan alienasi diri dan kegelisahan, ada bagian hidup Chairil Anwar yang lain yang ingin dipotret dan dibawakan ke atas panggung oleh Titimangsa Foundation dalam pertunjukan teater 'Perempuan-Perempuan Chairil'.

Pementasan 'Perempuan-Perempuan Chairil' berlangsung selama dua hari, 11 hingga 12 November 2017 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Agus Noor didapuk sebagai sutradara dengan Happy Salma sebagai produser. Sedangkan naskah dari pentas ini ditulis oleh Agus Noor, Ahda Imran, dan Hasan Aspahani.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berangkat dari buku biografi 'Chairil' yang ditulis oleh Hasan Aspahani, 'Perempuan-Perempuan Chairil' mencoba menampilkan kisah hidup Chairil Anwar yang lain dan mengajak penonton melihat sosoknya dari kaca mata yang lain, sebagai manusia biasa yang bisa juga jatuh hati dan kemudian remuk redam karena cinta.

Melihat Chairil Anwar di Panggung 'Perempuan-Perempuan Chairil' Foto: Pentas Perempuan Perempuan Chairil (Palevi/detikHOT)



Dalam petualangan Chairil Anwar (diperankan oleh Reza Rahadian) dia mencari makna cinta, Titimangsa Foundation melihat ada empat sosok perempuan yang begitu berpengaruh terhadap diri sang pujangga. Itu mengapa pertunjukan teater ini dibagi menjadi empat babak dengan terlebih dulu dibuka dengan monolog dimana Chairil mengeluhkan ia kerap berbeda pendapat dengan H.B. Jassin, sahabatnya, mengenai pandangannya tentang perempuan malam.

Di babak berikutnya ada cerita asmara Chairil yang diceritakan. Perempuan pertama adalah Ida Nasution (diperankan Marsha Timothy) seorang terpelajar, penulis esai dan penerjemah yang cerdas dan menjadi cinta intelektual Chairil. Dengan Ida, Chairil yang kala itu muda dan menggebu menemukan sosok pemikir kritis yang setara untuk berdebat. Ida Nasution kemudian dinyatakan hilang dalam pejalanan dari Jakarta ke Bogor.

Melihat Chairil Anwar di Panggung 'Perempuan-Perempuan Chairil' Foto: Pentas Perempuan Perempuan Chairil (Image Dynamics)



Di babak kedua, muncul sosok Sri Ajati (diperankan Chelsea Islan). Sri Ajati yang rupawan adalah pemain teater, penyiar radio, dan model bagi lukisan Basoeki Abdullah. Ia adalah kasih tak sampai Chairil dan menjadi inspirasinya dalam menulis 'Senja di Pelabuhan Kecil'.

Yang ketiga adalah Sumirat (diperankan Tara Basro). Jika seorang penyair harus menemui muse-nya dalam sebuah karya, Chairil Anwar akhirnya bertemu dengan Mirat dan menjalin sebuah cinta yang berbalas. Meski demikian, cinta keduanya pun akhirnya kandas.

Melihat Chairil Anwar di Panggung 'Perempuan-Perempuan Chairil' Foto: Pentas Perempuan Perempuan Chairil (Image Dynamics)



Pencarian Chairil akan 'rumah' pun usai dengan Hapsah Wiriaredja (diperankan Sita Nursanti) seorang perempuan sederhana dan realistis yang bahkan tidak mengerti sastra dan puisi-puisi Chairil. Mereka bertemu di Karawang.

Dalam babak kisah Chairil dan Hapsah digambarkan bagaimana, meski saling mencintai, keduanya memiliki cara pikir yang sebenarnya begitu berbeda. Pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi, muncul karena berbagai masalah, salah satunya kesulitan ekonomi yang mencekik menjelang kelahiran putri mereka, Evawani.

Melihat Chairil Anwar di Panggung 'Perempuan-Perempuan Chairil' Foto: Pentas Perempuan Perempuan Chairil (Image Dynamics)



Pada pertunjukan ini tampil pula sosok perempuan malam (diperankan oleh Sri Qadaratin) dan pelukis Affandi (Indra Jatnika) di awal dan akhir pertunjukan serta kisah dibalik tulisan poster perjuangan 'Boeng, Ajo Boeng!'.

Menonton 'Perempuan-Perempuan Chairil' rasanya seperti diajak mengenal sajak-sajak Chairil yang bertransformasi menjadi dialog dalam naskah. Ada sejumlah puisi-puisi Chairil Anwar, yang tidak hanya bermuatkan cinta tapi juga berisikan pandangan tentang eksistensialisme dan kesadaran Chairil akan ajal, yang dijahit menjadi percakapan di dalamnya.

Sepak terjang Chairil Anwar sebagai pujangga yang memiliki pengaruh terhadap kesusastraan Indonesia memang telah banyak diangkat di buku-buku dan berbagai diskusi. Barangkali 'Perempuan-Perempuan Chairil' mencoba menawarkan diskursif yang lain ketika Chairil Anwar sebagai seorang manusia biasa bertemu cinta.

Sebuah upaya yang baik untuk membuat teater dan sastra 'turun gunung' dan menjadi lebih mudah untuk dikenal dan dipahami orang banyak.

(srs/tia)

Hide Ads