"Jadi misalkan diberlakukannya selama musik itu digandakan di tempat publik, misalnya kita beli CD, kita dengarkan sendiri, itu hak kita, tapi ketika kita punya restoran dan kita perdengarkan di restoran, haknya itu hilang, karena kan kalau CD dilarang menggandakan," ujar Chico Hendarto dari Wahana Musik Indonesia (WAMI) ditemui di Thamrin, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Artinya, jika sebuah lagu diperdengarkan untuk kepentingan komersil, lagu tersebut harus memiliki performing rights dan membayar royalti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Serba-serbi Performing Rights |
Lantas, ke mana royalti tersebut dibayarkan? Menurut Chico Hendarto ada sejumlah lembaga yang bisa memfasilitasi pembayaran royalti tersebut, salah satunya adalah Wahana Musik Indonesia (WAMI).
Selain WAMI, ada pula KCI (Karya Cipta Indonesia) dan lembaga lainnya. Yang membedakan adalah komposer yang bergabung di dalamnya.
"Misalnya yang bergabung di bawah WAMI adalah Tulus dan Yovie (Widianto). Kalau KCI ada yang lain, misalnya almarhum A. Rianto," jelas Chico lagi.
Chico pun menjelaskan, hak yang dimiliki seorang penulis lagu terhadap sebuah karya ciptanya berlangsung sepanjang hidupnya ditambah 70 tahun setelah sang penulis meninggal dunia.
Selama itu, lagu yang digunakan haruslah membayar hak cipta kepada penulis lagu.
Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah lembaga pendistribusian royalti tersebut mengambil laba dari royalti yang dibayarkan kepada komposer? (srs/dar)