"Saya bilang menari itu ibadah. Healing treatment bagi masa remaja saya," tutur Siko Setyanto saat ditemui di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Siko mengakui ketika remaja dia mengalami beragam hal yang membentuknya sampai saat ini. Ketika berada di sanggar tari, beragam hal negatif digempur dengan latihan menari. "Di sanggar, sistemnya saya seperti nyantri atau masuk pondokan," ujar Siko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 'Orang Jawa, Kok Nari Balet' |
Ketika pindah belajar ke Jakarta, persisnya di sanggar Ballet Sumber Cipta, Siko belajar makna dari balet dan yang membuat balet penting bagi hidup. Mendiang Farida Oetoyo pun berpesan kepada Siko.
"Ingat Siko, jangan mengkotak-kotakkan balet, jangan ngomong balet itu dari Barat. Boleh asalnya memang dari luar. Tapi balet itu bukan untuk dipisah-pisahkan," kata Siko.
Lewat balet pula, Siko berhasil keliling dunia. Dari Rusia, Korea, Belanda, Ceko, hingga Perancis pernah disambanginya.
Beberapa waktu lalu, Siko menari lewat proyek Asia Dance Project. Siko juga berulang kali bekerja sama dengan koreografer handal mancanegara.
Di antaranya adalah Glenn Van den Bosch (Belanda), Sussane Thomas (Jerman), Japan Contemporary Dance Network (Jepang), Gerard Mosterd (Belanda), Tomas Lehmann (Jerman), Constanza Macras/Dorky Park (Argentina/Jerman), dan Iko Sidharta (Indonesia).
"Sampai sekarang masih banyak hal yang harus saya eksplorasi. Ketika saya kolaborasi atau kerjasama dengan pihak lain, saya selalu belajar banyak. Dari situ saya merasa masih banyak hal yang kurang," pungkas Siko.