"Oh pernah (stres). Pas papaku meninggal. Papaku meninggal, satu minggu lagi aku harus ngumpulin tesis. Dan aku masih syuting di Trans TV waktu itu. Judulnya 'Teater Komedi' waktu itu," jawab Chacha saat ngobrol dengan detikHOT di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat-saat itulah, keprofesionalan Chacha diuji sebagai artis. Di mana dia tetap harus berpikir jernih, untuk mengerjakan tesisnya dan bekerja. Di satu sisi, dirinya sedang berduka karena kehilangan orang yang sangat penting untuk dirinya.
"Jadi kadang-kadang aku punya bayangan bahwa ini prasaan gue, gue taru sebelah sini, gue pindahin dulu. Nanti gue taru sini lagi, baru gue nangis. Itu udah, aaah... gila!" ungkapnya.
Untuk menyelesaikan itu semua, bicara dan datang ke psikolog bukan hal yang salah menurut Chacha Frederica. Jangan termakan anggapan, kalau kita bicara dengan psikolog itu akan dianggap orang gila.
Ada perbedaan saat kita bicara dengan psikolog dan orangtua. Di mana psikolog itu, bisa sangat objektif meski tetap mempunyai rasa iba.
"Tapi kan kalau psikolog, dia bukannya nggak punya rasa kasihan. Tapi dia lebih objektif. Kita butuh dukungan itu," tuturnya.
"Biasanya kalau kita udah pergi ke psikolog, pasti ujung-ujungnya disuruh ke Tuhan. Karena yang menciptakan kita Tuhan. Kalau aku as muslim banyak zikir. Semakin banyak zikir, itu berkoneksi dengan Tuhan," jelas Chacha Frederica. (hnh/wes)