Sepenggal nyanyian berbahasa Minang disertai seruling Batak Toba memulai pementasan 'Mati Berdiri' oleh Sena Didi Mime (Jakarta). Pentas yang digarap sutradara Yayu A.W.Unru itu membuka hajatan Helateater Salihara 2017 yang berlangsung akhir pekan lalu.
Seorang perempuan berpakaian bandut dan berbadan dua seperti akan melahirkan. Dia mengerang kesakitan di balik sebuah bilik rumah tua. Ada tujuh badut anak-anak yang berhasil dilahirkannya. Mereka tumbuh dan bermain dengan baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Bahkan di pementasan kali ini terbilang tanpa dialog sama sekali. Para pemain hanya mengutamakan mimik atau ekspresi wajah serta gerak olah tubuh.
"Durasi pentas ini 50 menit, cukup sakral, karena ini cerita tentang apa yang terjadi sekarang. Kumpulan orang-orang yang tersisih dan saya sendiri bercita-cita mau punya anjing tapi nggak kesampaian," tutur Yayu, usai gladi resik di Teater Salihara, akhir pekan lalu.
Pertunjukan ini mengangkat masalah informasi yang menjebak antara benar atau salah. Fakta maupun bukan fakta, serta cara menyikapinya.
Karakter-karakter dalam pentas 'Mati Berdiri' adalah individu-individu yang labil dan gamang. Mereka berhadapan dengan zaman yang serba-materialistik. Mereka ada tapi merasa tidak ada, hadir tapi diabaikan.
"Ada keterasingan di tengah keluarga dan masyarakat. Ada komunikasi yang tidak berjalan. Lakon ini tentang orang-orang kecil tertindas tentang manusia berkelompok, kebencian menjadi satu. Dan frame di belakang panggung ini adalah simbol," katanya.
![]() |
Meski minim dialog dan belum tentu dimengerti oleh penonton yang hadir namun Yayu Cs tak mengambil pusing.
"Karena itulah tugas kami, mementaskan hal-hal yang belum dimengerti. Hal-hal random tapi bikin orang tertawa," pungkasnya.
Usai pentas 'Mati Berdiri' oleh Sena Didi Mime asal Jakarta, selanjutnya Helateater 2017 akan menampilkan Studio Taksu (Surakarta) dan Komunitas Seni Hitam Putih (Padangpanjang).
(tia/mmu)