Tanpa berbasa-basi, novel ini mengisahkan persahabatan 3 perempuan yang merupakan 'orangtua murid' dari anak-anak yang baru masuk TK. Dengan telaten dan detail penulis memperkenalkan tokoh-tokohnya, bagaimana mereka awalnya berkenalan dan kemudian menjalin ikatan persahabatan yang begitu kuat. Meskipun kejadiannya di Sydney, tak sulit membayangkannya, karena situasinya kurang-lebih serupa dengan yang terjadi di kota-kota di Tanah Air: ibu-ibu (muda) bergerombol dan ngerumpi di pagi hari di halaman taman kana-kanak. Lalu, bayangkan saja ini: suatu ketika terjadilah kekacauan yang tak terkendali.
Tentu saja, ada budaya yang berbeda di sana dan hal itu bisa menjadi bahan pembelajaran yang menarik. Misalnya, para orangtua murid itu dilibatkan oleh pihak sekolah dalam berbagai program, termasuk piket jaga kantin. Mereka juga terlibat dalam berbagai acara seru. Novel ini mengisahkan apa yang disebut sebagai "malam kuis", saat ketika para pasangan orangtua murid berpesta dalam dandanan Elvis Presley dan Audrey Hepburn. Nah, pada malam itulah terjadi keributan yang berakhir pada meninggalnya salah seorang ayah murid. Tenang, ini bukan spoiler! Sejak awal, novel ini sudah memberi tahu pembaca tentang kejadian itu. Justru di situlah letak keasikannya. Pembaca diajak mundur ke belakang, dan penulis terus berteka-teki sampai halaman terakhir tentang apa yang sebenarnya terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jane bersahabat dengan Madeline, yang berada dalam satu "genk" dengan Caleste. Di sisi lain, ada genk ibu-ibu "Bob Pirang" yang beranggotakan para perempuan karier yang bersuami kaya. Ibu-ibu ini sampai bikin petisi, dan melarang anak-anak mereka berteman dengan Ziggy. Namun, Ziggy bersikeras dirinya tak melakukan apa yang dituduhkan.
Dari problem di kalangan anak-anak TK itu, Moriarty merajut kisahnya dengan telaten, memotret latar belakang keluarga tiga perempuan yang bersahabat itu βJane, Madeline, Calesteβ satu per satu. Benang merahnya sungguh mengejutkan, bahwa novel superlucu ini ternyata mengangkat tema yang luar biasa gawat, dari kekerasan dalam rumah tangga, termasuk menyinggung juga soal isu "trafficking" anak-anak perempuan di tingkat global. Di balik keceriaan dan juga segala keglamoran perempuan-perempuan yang diam-diam saling bersaing, serta saling memandang dengan penuh prasangka dan gosip itu, tersimpan kisah-kisah yang jauh lebih menyakitkan.
Novel ini tergolong tebal, namun plot dan strukturnya membuat pembaca mudah menyelesaikannya dengan relatif cepat. Dibagi dalam bab-bab yang pendek, setiap pergantian bagian penulis menampilkan perspektif dari tokoh yang diceritakannya, sehingga tidak terasa linear. Strategi itu memberikan gambaran yang lebih utuh pada pembaca mengenai apa yang terjadi, dan seperti apa situasinya. Dengan demikian, novel yang sebenarnya kompleks, dengan banyak tokoh dan lapisan cerita serta berjejal-jejal peristiwa dan deskripsi suasana ini bisa dengan enak dan lancar dibaca. Penulis sangat "cerewet", tapi mampu mengatasi kecenderungannya itu dengan cara yang "benar".
Cara Moriarty bertutur sangat kuat dengan kalimat-kalimat yang 'stylish', dan teramat sayang untuk dilewatkan dengan pembacaan cepat. Kadang, ada kalimat yang membuat pembaca ingin mengulangi membacanya sekali lagi, bukan semata karena lucu melainkan karena menyimpan makna yang perlu direnungkan oleh siapa saja. Namun, jangan bayangkan jenis kalimat ala kartu ucapan yang bisa dikutip untuk Path Daily. Sebab, Moriarty sangat sinis, kadang pesimis dan sarkastis, namun jelas bahwa apapun yang dia ungkapkan memberikan semacam pencerahan yang menyegarkan.
Membaca novel ini seperti ikut duduk bersama genk Jane-Madeline-Caleste yang punya kebiasaan 'nongkrong' di kafe kecil tepi pantai saat menunggui anak-anak mereka, sambil merasakan solidaritas pertemanan tiga ibu berbeda usia yang mengharukan itu.
(mmu/mmu)