Ron Howard kembali menyutradarai dalam 'Inferno' kali ini, dengan David Koepp sebagai penulis skenarionya. Kali ini kita langsung menemui situasi yang unik. Robert Langdon terbangun dengan luka di kepala, pandangan yang sensitif terhadap cahaya dan ingatan yang hilang. Dia tidak tahu ada di mana, dan semakin heran ketika mendapati dirinya ternyata ada di Florence, Italia.
Dokter bernama Sienna (Felicity Jones) yang mengaku nge-fans dengan Langdon sejak umur sembilan tahun mengurusinya, dan memberitahunya bahwa kepalanya terkena goresan peluru. Menurutnya, jika peluru tersebut meleset satu inci saja, Langdon akan tewas. Belum sempat mereka berkenalan lebih jauh, seorang polisi wanita datang dan menembaki mereka. Panik, mereka berdua pun pergi ke apartemen Sienna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berlomba dengan waktu yang sempit, Langdon harus berpikir keras untuk menyelesaikan teka-teki Zobrist, atau nasib umat manusia akan ada di ujung tanduk. Menyutradarai kisah petulangan Robert Langdon untuk ketiga kalinya—yang selalu apes karena harus berusaha menyelesaikan teka-teki rumit—Ron Howard sedikit bereksperimen dengan visual dan audio dalam 'Inferno'. Di sini kita melihat kamera yang bergerak lincah dan efek-efek suara yang sengaja dibuat mengganggu. Semua itu karena Langdon gegar otak dan mengalami trauma. Agak sedikit mengingatkan serial Bourne hanya saja Ron Howard kembali ke jalan konvensional begitu Langdon pulih.
Tidak bisa dipungkiri, keputusan Dan Brown, penulis novelnya, untuk membuat Langdon "linglung" membuat seri ini sedikit lebih seru dari sebelum-sebelumnya. Karena serumit apapun teka-tekinya, Langdon selalu menemukan cara untuk menyelesaikannya. Dengan cepat dan selalu memenuhi deadline sebelum bom meledak. Koepp pun mengadaptasi buku tersebut dengan cukup setia. Yang saking setianya justru pada akhirnya tidak memberikan sesuatu yang baru. 'Inferno' sama seperti 'The Da Vinci Code' atau 'Angels And Demons'. Semuanya melibatkan kota-kota di Eropa yang eksotis. Semuanya melibatkan sebuah intrik yang begitu sensasional sehingga hanya telenovela yang bisa menandinginya. Semuanya melibatkan partner perempuan cantik dan jauh lebih muda dari usia Langdon. Yang berbeda hanyalah siapa musuh yang dihadapi Langdon, dan misteri apa yang kini dia hadapi.
Ketiga film juga menawarkan rasa yang sama: sebuah petualangan tanpa henti yang mempunyai ancaman besar dengan plot yang ketat dan twist yang akan membuat penonton bingung untuk menerka siapa sebenarnya ancaman berbahaya di sekeliling Langdon. Hal tersebut bisa menjadi bumerang. Ada yang memang mencintai serial tersebut karena konsistensi. Tapi dalam kasus ini, rasanya menjadi hambar. It gets too old too fast.
Membaca buku Dan Brown memang terasa menonton film. Tulisannya tangkas dan diedit seolah-olah kita sedang menonton film. Dipotong pada bagian yang terasa menegangkan. Dan sebagai pembaca, Anda akan ikutan terkejut ketika ternyata musuh bukanlah musuh atau apa yang Langdon cari ada di depannya selama ini. Dalam kasus 'Inferno', Ron Howard tidak membubuhinya dengan sesuatu yang baru sehingga ketika filmnya berakhir, Anda akan cepat lupa.
Tapi tentu saja, sebagai karya Hollywood, 'Inferno' tetap akan menghibur Anda. Kamera dari Salvatore Totino akan membuat Anda terhanyut. Dan iringan musik Hans Zimmer membuat Anda ingin terus bertualang dan mencari tahu bagaimana cara Langdon menghentikan kiamat kubro. Editingnya tangkas sehingga Anda tidak akan pernah bosan.
Tapi, dibutuhkan lebih dari "craftmanship" yang handal untuk membuat sebuah serial menjadi berkesan. Jika Columbia Pictures memutuskan untuk mengadaptasi serial Robert Langdon berikutnya—bisa jadi buku ketiganya, 'The Lost Symbol' atau buku yang akan datang 'Origin'—dibutuhkan lebih dari teka-teki rumit untuk membuat penonton tetap terkesan dan menunggu atas petualangan gila si profesor itu.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)