Cyntha Hariadi: Mendobrak Tabu Keagungan Ibu

Cyntha Hariadi: Mendobrak Tabu Keagungan Ibu

Is Mujiarso - detikHot
Kamis, 12 Mei 2016 15:10 WIB
Jakarta -

Di sela kesibukannya sebagai praktisi periklanan di Jakarta, Cyntha Hariadi pada suatu hari makan di kafe di kompleks Komunitas Salihara. Di kantong budaya yang terletak di kawasan Pasar Minggu itu biasa terdapat tumpukan brosur dan selebaran yang berisi program-program acara seni-budaya di berbagai tempat di ibukota. Salah satu yang menyita perhatian Cyntha kala itu adalah pengumuman mengenai Sayembara Manuskrip Buku Puisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Merasa tertarik dan tertantang, Cyntha pun tanpa berpikir panjang memutuskan untuk ikut sayembara itu. “Waktunya itu tinggal tiga bulan dan saya langsung mengerjakan manuskrip yang kemudian saya kirim, berjudul Ibu Mendulang Anak Berlari,” kenang perempuan kelahiran Tangerang, Banten yang pernah mengenyam kuliah Media Studies di Amerika Serikat itu.

Menyelesaikan manuskrip buku puisi dalam tiga bulan? “Saya sudah punya bahan mentahnya. Saya biasa menulis di buku harian. Sejak kecil saya sudah suka menulis dan membaca puisi,” ujarnya seraya menyebut Sapardi Djoko Damono sebagai penyair Indonesia yang ia baca karyanya. “Saya juga suka Sutardji (Calzoum Bachri),” tambahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari catatan di buku harian pribadinya itulah, Cyntha menuangkan puisi-puisinya. “Ketika mediumnya sudah ketemu, rasanya semua mengalir begitu saja,” ujarnya.

Ketika kini publik tahu bahwa manuskrip yang dikirim Cyntha keluar sebagai Juara III, cerita selanjutnya pun tak sulit ditebak. Kaget sekaligus senang, dan tak menyangka merupakan ungkapan-ungkapan yang bisa disampaikan Cyntha dalam berbagai kesempatan, salah satunya di acara softlaunching 3 buku puisi pemenang sayembara DKJ tersebut, awal pekan ini.

Barangkali penikmat dan pengamat sastra pun sama kagetnya. Siapa Cyntha Hariadi? Komentar dan penilaian dewan juri Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ 2015 yang terdiri atas Joko Pinurbo, Oka Rusmini dan Mikael Johani semakin menambah penasaran.

“Dengan bahasa yang sederhana, naskah ini berhasil memotret kekompleksan sebuah pengalaman menjadi ibu dengan menyulap detail-detail banal kehidupan domestik menjadi sesuatu yang menakjubkan dan hampir sureal,” demikian antara lain pernyataan juri dalam pertanggungjawabannya di malam pengumuman pemenang sayembara pada 22 Desember 2015 lalu.

“Pengalaman menjadi ibu” menjadi kata kunci untuk membaca 62 puisi karya Cyntha yang terhimpun dalam buku ‘Ibu Mendulang Anak Berlari’. “Kalau mau disebut curhat, puisi-puisi saya memang berangkat dari pencarian atas identitas saya sebagai perempuan sebelum dan sesudah menjadi ibu, dan jawabannya nggak ketemu-ketemu,” ujar ibu satu orang anak itu.

Pergeseran identitas dari seorang “anak” menjadi “ibu” tersebut menjadi awal perjalanan dalam buku ini. Aku anak perempuan ibuku/ aku akan menjadi ibu anak perempuanku. Demikian Cyntha membuka puisi pertama di buku ini, berjudul ‘Anak Perempuan’. Ketika anak perempuan itu akhirnya lahir, semua menjadi semakin jelas. Ibuku melahirkanku/ sebagai seorang anak/ anakku melahirkanku/ sebagai seorang ibu (puisi ‘Kelahiran’).

Bagi Cyntha, kehadiran bayi yang memberinya identitas baru tersebut mendatangkan berbagai perasaan, membuatnya menghadapi aneka situasi yang tak pernah dialami sebelumnya, yang pada akhirnya membuat dirinya menjadi asing. Kau telan putingku/ sungai pun mengalir/ tanah menggeliat/ angin bergemuruh // aku pun bangun/ bertanya-tanya siapa kau dan aku (puisi ‘Terbangun’)

Lebih jauh, rasa asing itu dipaparkan Cyntha dalam puisi berjudul ‘Dua Aku’. Ketika kau keluar dari tubuhku/ ada makhluk lain yang masuk menggantikanmu/ aku, yang tak pernah orang kenal apalagi kau/ aku, yang tak pernah aku kenal tapi menjadi aku karena kau.

“Sebelum saya punya anak, maka saya hanyalah seorang perempuan. Tapi, begitu anak perempuan saya lahir, maka saya punya definisi baru, bisa menjadi orang jahat tapi juga bisa dituntut untuk menjadi malaikat,” ujar Cyntha melukiskan pergulatan di balik lahirnya puisi-puisinya.

“Selama ini sosok ibu diagung-agungkan, harus tahan menderita, tulus, suci, selalu baik. Tapi pengalaman saya tidak begitu,” sambungnya. Tidak begitu, lalu seperti apa? Temukan puisi-puisi berjudul ‘Menghangatkanmu’ (diam, bukan mau membekapmu!), ‘Payudara’ (Buah ini suka bibir, tangan dan matamu/ kecuali pompa susu), ‘Ikan’ (engkau ciptakan lautan/ aku ikan di dalamnya), ‘Perosotan’ (kadang aku berharap…/ meninggalkan kau di atas sana), atau ’Susu’ (Segelas susu di atas meja/ sini, aku tuangkan di kepalamu) —itulah jawabannya.

Terdengar seperti suara dari sesosok ibu yang jahat dan kejam? Cyntha menyadari itu, dan mengantisipasinya dalam puisi ‘Katamu Kataku’. Ketika aku berkata-kata buruk/ katamu aku tidak berperilaku sebagai seorang ibu/ Bagaimana kau tahu, tanyaku. Bahkan dengan lantang Cyntha juga menggugat konsep cinta seorang ibu. Bila cinta adalah semua dan segala sesuatu yang manis, lembut dan benar, tak tertebus aku (puisi ‘Pertanyaan’).

Menurut anggota dewan juri Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ 2015 Mikael Johani, selain jarang disuarakan oleh penyair Indonesia selama ini, tema yang diusung Cyntha dalam puisinya sangat kuat dan individual. Mikael memuji kepiawaian sang penyair dalam mengolah tema-tema individual tersebut menjadi sesuatu yang berharga.

“Cyntha punya suara sendiri yang begitu murni dan semuanya ditumpahkan untuk menganalisis masalah yang jarang dibahas puisi Indonesia kontemporer yakni depresi ibu-ibu urban. Dia bicara tentang rumah dan remeh-temeh sehari-hari, males nyuci baju, males menyusui, baby blues, tapi pada akhirnya semua jadi sebuah pernyataan yang filosofis banget: memangnya masih bisa ada puisi dalam keremehtemehan hidup sebagai ibu urban yang cuma bukin pusing ini? Atau, lebih dalam lagi, memang masih bisa ada kebahagiaan (dari peran sebagai ibu)?” papar Mikael.

Mikael juga melihat bahwa rumah dalam puisi-puisi Cyntha menjadi sesuatu yang politis. “Bukan cuma the personal is the political tapi the personal sebagai manisfestasi politik patriarkhi yang menekan ibu-ibu urban macam dia. Jatuhnya kadang dia memang jadi sarksatisk banget. Ini susu aku tumpahkan ke kepalamu. Itu gila. Ibu-ibu, bunda-bunda lain, pasti akan mengutuknya hahaha,” seloroh Mikael.




 

(mmu/mmu)

Hide Ads