Kisah Cinta Tragis Wanita Gipsi di Panggung Opera 'Carmen'

Kisah Cinta Tragis Wanita Gipsi di Panggung Opera 'Carmen'

Tia Agnes - detikHot
Senin, 18 Apr 2016 08:00 WIB
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Happy Salma muncul ke atas panggung berbalut dress panjang berwarna merah. Senada dengan setengah lingkaran panggung yang ditata dengan artistik, dan tepat di tengah panggung terdapat ruang bagi para pemain musik. Happy mengernyitkan dahinya, dan menghela nafas panjang.

Ia mulai berkisah, dahulu kala di sebuah negara yang dikenal dengan sebutan 'matador, terdapat kisah cinta yang unik. Cinta yang teramat dalam sampai terkenal se-antero negeri. "Setiap pria memujanya, mengidam-idamkan kehadiran wanita itu, lirikan matanya membuat pria jatuh hati. Wanita itu bernama Carmen," ujar Happy yang malam itu bertugas sebagai narator.

Di sebuah pabrik rokok, Carmen (Heny Janawati) bekerja di sana. Ia kerap berpenampilan seksi dengan gaya berpakaian ala gipsi. Tubuhnya yang semampai membuat siapa saja menunggu untuk dilirik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Carmen jatuh cinta kepada Don Jose yang pemalu. Pria yang berprofesi sebagai tentara itu membuat Carmen menyerahkan hatinya. Carmen terlalu cantik bagi Don Jose," kata Happy menerangkan lagi.



Keduanya dimabuk asmara. Carmen tak menyangka rasa cintanya dengan Don Jose mengubahnya menjadi posesif dan pencemburu. Don Jose tidak ingin Carmen keluar berdansa dan minum dengan pria lain. Carmen adalah miliknya satu-satunya.

Simak: Tampil Tak Biasa, Happy Salma Jadi 'Kunci' di Opera Carmen

Kisah berubah jalur ketika Carmen bertemu dengan seorang matador yang tak kalah gantengnya. Sama-sama berasal dari kaum gipsi, Carmen jatuh hati.

Untuk pertama kalinya, pertunjukan opera bertaraf internasional 'Carmen' karya komposer Prancis Georges Bizet hadir di Indonesia pada 16-17 April lalu di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta. 'Carmen' adalah salah satu kisah opera yang sangat populer dan paling sering diadaptasi ke panggung opera di dunia.

Dengan latar belakang Spanyol di abad ke-19, The Resonanz Music Studio mengangkat kisah ini sesuai dengan naskah aslinya ke atas panggung. Diarahkan oleh sutradara asal Belanda Jos Groenier yang telah menampilkan opera di berbagai negara. Happy yang ditemui usai preview, mengatakan 'Carmen' sudah selayaknya tampil di Indonesia.

"Kang Avip menghadirkan Carmen dengan cerita yang menyentuh. Ia mengajak saya supaya menjadi penerang atau narator untuk menjelaskan adegan-adegan terpenting dan memang sudah selayaknya masyarakat umum menonton Carmen," katanya.

Jos Groenier yang datang langsung ke Indonesia untuk menyutradarai pertunjukan kembali mengungkapkan bahwa pementasan semi teater dan opera ini terbilang berbeda. "Panggung artistiknya pun tidak ditampilkan secara biasa tapi berbentuk setengah lingkaran. Sama seperti lighting yang akan menakjubkan dan fokusnya pada penyanyi dan suaranya," tegasnya.



Pementasan selama dua jam ini mampu membawa para penonton terhanyut dalam kisah tragis Carmen. Meski menggunakan bahasa Spanyol, tapi penjelasan teks terdapat di dua layar di pinggir panggung. Ditambah pula dengan penjelasan narator Happy Salma yang mempermudah penonton untuk memahami.

Kalau banyak orang menganggap sebuah pertunjukan opera terkesan lebih 'segmented' dari pementasan lainnya yang pernah digelar di Indonesia, mungkin anggapan tersebut benar. Namun, seperti kata Avip Priatna (Direktur The Resonanz Music Studio), opera ini bukan persoalan budaya Barat atau Indonesia, tapi 'Carmen' punya tujuan khusus. Yakni, mempopulerkan dan mendekatkan opera ke masyarakat Indonesia, dan Avip berhasil membuktikannya.


(tia/tia)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads