Suatu hari Bunda Teresa tengah berada di tepi Sungai Gangga. Dia melihat sepasang suami istri bertengkar dan saling berteriak. Kemudian, Bunda Teresa bertanya kepada murid-muridnya, mengapa orang yang saling mencintai itu bermusuhan?
"Artinya jiwa dan hati mereka sangat dekat. Tanpa kata-kata manis pun mereka sudah saling mencintai," ungkap pimpinan Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi mengisahkan cerita Bunda Teresa kepada awak media yang hadir di Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta, akhir pekan lalu.
Cuplikan cerita tersebut mengingatkan akan jerih payahnya mendirikan komunitas anak-anak bantaran Kali Ciliwung sejak 2000 silam. Sampai sekarang, dia tetap mengajarkan seni dan budaya serta mengajarinya berbagai program.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Siap-siap! 'Indonesia Menari' Hadir Lagi 22 November
Segala persoalan kota Jakarta terangkum dalam lagu yang diciptakannya bersama anak-anak Ciliwung Merdeka. Berjudul 'Ciliwung Larung' lagu dan koreografi terinspirasi dari kegetiran dalam menjalani hidup sebagai warga bantaran kali.
"Inilah potret dan kenyataan sosial di masyarakat kita yang tercabik-cabik. Inilah saatnya kita sejenak berhenti aktivitas dan mereka mulai mengenal balet," lanjutnya lagi.
Pentas 'Ciliwung Larung' akan ditampilkan 28 November di Tugu Kunstkring Paleis. Tarian yang mengkombinasikan balet dan Sunda itu juga akan menggunakan gerakan balet ciptaan August Bournonville, dan tak menggunakan rok tutu.
Era balet Bournonville hadir sebelum periode klasik balet Rusia. "Untuk pertama kalinya, kita akan melihat anak-anak Jakarta untuk menarikan khusus teknik Bournonville. Gerakannya lincah, ringan, kecil-kecil, tapi juga ceria saat menari," tutup Meutia Chaerani dari Yayasan Ballet Indonesia yang juga terlibat dalam pementasan tersebut.
(tia/mmu)