Dunia perbukuan belakangan ini terasa lebih semarak dibanding sebelumnya, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Tengoklah toko-toko buku yang biasa Anda kunjungi. Atau, jika Anda cukup akrab dengan pasar buku di jagad online, maka perbedaan itu demikian terasa. Hal itu dipicu oleh munculnya kembali buku-buku bertema “berat” yang pernah mewarnai industri penerbitan Tanah Air sejak akhir dekade 90-an.
Dipelopori antara lain oleh Penerbit Bentang yang didirikan oleh Buldanul Khuri di Yogyakarta pada 1994, buku-buku “berat” pernah membanjiri pasar. Munculnya Bentang segera diikuti dengan tumbuh pesatnya penerbit buku di kota pelajar itu. Hal itu terjadi seiring dengan bergulirnya reformasi menyusul jatuhnya pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Penulis dan aktivis perbukuan Muhidin M Dahlan melukiskan bahwa tak ada fase yang mengharu biru dari Jogja selepas Presiden Soeharto jatuh selain perayaan penerbitan buku. Muhidin tak berlebihan. Sampai kira-kira pertengahan dekade 2000-an, di Jogja terdapat ratusan penerbit, dari yang berkelas industri-profesional (melibatkan banyak karyawan dan manajemen) hingga yang berkelas kos-kosan. Penulis dan juga pendiri grup penerbitan Diva Press, Eddy AH Iyubenu menandai era tersebut "dikuasai euforia betapa mudahnya bikin buku”.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku-buku terjemahan dari ranah fiksi hingga sejarah, yang tak jarang “setebal bantal” menjadi pemandangan yang tak asing di rak-rak toko buku di seluruh Indonesia kala itu. Karya-karya para ahli Indonesia seperti Clifford Geertz, MC Ricklefs, Ben Anderson, nancy Florida, dan John Pamberton begitu mudah dijumpai. Bahkan buku seklasik ‘The History of Java’ karya Raffles pun tak luput diterjemahkan, dengan peredaran yang menjangkau toko buku di berbagai kota. Karya-karya para filsuf posmodernisme hingga buku-buku “kiri” pun bertebaran.
Namun, sayangnya masa itu tak bertahan. Tercatat sejak 2004, penerbit-penerbit buku di Jogja bertumbangan. Satu per satu bangkrut bahkan termasuk yang terhitung paling besar, Bentang pun ikut tersungkur. Banyak faktor yang memicu kejatuhan tersebut. Menurut Eddy AH Iyubenu, runtuhnya sebagian besar penerbit masa itu karena “ditanduskan ladang suburnya”. Maksudnya?
“Sistem distribusi yang tak sehat menjadi biang kerok utamanya,” ujarnya. Aktivis perbukuan lainnya, Adhe Maruf menolak merinci secara detail penyebab bangkrutnya penerbit-penerbit Jogja, termasuk miliknya, Jendela yang pertama kali menerbitkan novel ‘Cantik itu Luka’ karya Eka Kurniawan, sebelum diambil alih oleh raksasa dari Jakarta, Gramedia. Adhe hanya mengisyaratkan bahwa buruknya manajemen merupakan penyebabnya.
Bentang terbilang beruntung karena kemudian diakuisisi oleh raksasa dari Bandung, Mizan. Sedangkan sebagian besar penerbit lainnya kini hanya tinggal cerita. Namun, para pelakunya tak ikut mati. Mereka terus bergerilya di dunia buku “berat”, dan hasilnya mulai tampak dalam setahun terakhir. Bagi Adhe sendiri misalnya, tahun ini merupakan tahun yang sangat sibuk. Ia menerbitkan kembali sejumlah buku yang dulu pernah diterbitkannya dengan logo Jendela. Yakni, ‘Dinding’, kumpulan cerpen karya Jean-Paul Satre, serta ‘Orang-orang Terbungkam’ dan ‘Manusia Pemberontak’, keduanya karya Albert Camus.
Kembalinya buku-buku “berat” yang digadang-gadang akan membangkitkan masa kejayaan “buku Jogja” juga diramaikan oleh penerbit besar seperti Narasi. Menurut cerita yang telah beredar luas di kalangan aktivis perbukuan di Jogja, dalam setahun ini Narasi akan mencetak ulang 75 buku yang pernah diterbitkan oleh Bentang. Ketika kabar tersebut coba dikonfirmasi, penerbit yang beralamat di bilangan Cempaka Putik, Deresan, Gejayan, Yoyakarta itu belum memberikan jawaban.
Yang jelas, beberapa buku dari angka 75 tersebut belakangan ini sudah beredar di toko buku. Kehadiran buku-buku tersebut cukup mencolok dan menyita perhatian dengan desain sampul, tema dan penulisnya yang “tak biasa”. Semuanya buku terjemahan. Sebut saja ‘Metamorfosis’ (Franz Kafka), ‘Pemberontak’ (Albert Camus), ‘Pecundang’ (Maxim Gorky), ’Republik’ (Plato), ‘Kitab Lupa dan Gelak Tawa’ (Milan Kundera), ‘ The Art of War’ (Niccolo Machiavelli), ‘Hantu-hantu Marx’ (Jacques Derrida), sejumlah karya Nietsczhe seperti 'Lahirnya Tragedi’ dan 'Zarathustra' (versi terjemahan HB Jassin), serta karya-karya Kahlil Gibran.
Buldanul Khuri sendiri tentu saja tak hanya “menikmati” hak penerbitan buku-bukunya dibeli oleh penerbit lain. Ia juga masih terus aktif di dunia penerbitan hingga kini. Antara lain dengan menghidupkan kembali penerbitan lain miliknya, Pustaka Promethea dan Mata Bangsa. Yang disebut terakhir ini pernah menerbikan buku sejarah setebal 700 halaman lebih, terjemahan dari karya Ricklefs berjudul ‘Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi (1749-1792): Sejarah Pembagian Jawa’. Buku inilah yang kini dicetak lagi untuk menandai kembalinya Mata Bangsa.
Menurut Adhe yang membantu pemasaran dan distribusinya, buku tersebut untuk sementara hanya dicetak ulang 50 eksemplar. Selain karena biaya cetak yang tinggi, pihaknya juga masih menjajaki pasar. Buku tersebut dijual via akun Facebook pribadinya. “Mohon maaf harganya Rp 250.000. Modal untuk memproduksi lagi buku ini cukup besar. Kami jual dengan diskon reguler 10% menjadi Rp 225.000. Diskon reseller 30% menjadi Rp 175.000, minimal pembelian 3 eksemplar,” rinci Adhe.
Hasilnya? Dalam waktu tak sampai 24 jam, buku tersebut ludes dipesan. Selamat datang kembali, buku-buku “berat”!
(mmu/mmu)