Coriolanus 'Coryo' Snow (Tom Blyth) tidak selalu bertindak seperti yang ia tunjukkan dalam empat film Hunger Games. Dalam The Ballad of Songbirds & Snakes, Coryo adalah seorang siswa dengan determinasi yang tinggi. Selain Coryo memang siswa yang cerdas dan adaptif, ia memiliki tanggung jawab moral untuk membawa nama keluarga tetap kelihatan gemilang. Orang tidak perlu tahu bahwa ia dan keluarganya (ibu dan sepupunya, Tigris, yang diperankan oleh Hunter Schafer) belum membayar sewa dan sebentar lagi diusir. Atau fakta bahwa dia seperti orang-orang di distrik sana kelaparan. Yang orang perlu lihat adalah Coryo seorang siswa teladan dan akan membawa nama keluarganya ke puncak. Seperti motto keluarganya, 'Snow always lands on top.'
Hari itu Coryo mengharapkan Plinth Prize, sesuatu yang bisa membawa keluarganya ke pusat cahaya. Tapi ternyata kepala sekolah Casca Highbottom (Peter Dinklage) punya rencana lain. Bersama game maker Dr. Volumnia Gaul (Viola Davis), setiap siswa sekarang mempunyai tugas untuk menjadi mentor masing-masing anak yang terpilih dalam reaping. Coryo, dengan segala kesialannya, mendapatkan Lucy Gray Baird (Rachel Zegler), seorang penyanyi nyentrik yang jelas tidak mempunyai kemampuan untuk bertanding. May the odds be ever in your favour.
Dari sekian banyak film young adult dystopian yang rilis dekade lalu, quadrilogy Hunger Games memang terlihat paling mentereng. Tidak hanya karena serial ini luar biasa menghibur dan dipersembahkan dengan teknis dan akting terbaik, tapi karena Hunger Games mempunyai statement yang jelas. Kehadiran prekuel ini (masih menggunakan judul The Hunger Games agar penonton awam tidak lupa) di atas kertas terlihat seperti aksi Hollywood cari dolar. Tapi kenyataannya, The Ballad of Songbirds & Snakes memiliki banyak bisa untuk mempertajam tesis yang mereka sampaikan di empat film sebelumnya. Saking berhasilnya, film ini bahkan membuat empat film sebelumnya semakin bersinar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan durasi sepanjang 157 menit, The Ballad of Songbirds & Snakes memang kelihatannya terlalu lama untuk sebuah prekuel. Tapi semua menit itu tidak terbuang percuma. Selain editing dari Mark Yoshikawa sangat mantap dengan membagi film ke dalam tiga bagian, skrip yang ditulis oleh Michael Lesslie dan pemenang Oscar Michael Arndt cukup solid. Bagian pertama menjelaskan dengan detail apa pertaruhan yang harus dilakukan oleh Coryo untuk sampai di titik yang ia ingin capai dan bagian kedua adalah game yang menjadi daya tarik baik bagi penonton dalam layar maupun penonton di luar layar.
Tentu saja dengan setting sekian puluh tahun sebelum film Hunger Games pertama dimulai, ada banyak perbedaan tentang permainan para bocah yang dipaksa untuk bunuh-bunuhan. Bagi penggemar Hunger Games seperti saya, apa yang ada di film ini sungguh menarik. Melihat bagaimana permainan ini dulunya terlihat sangat sederhana.
Satu hal yang mungkin patut dicatat adalah bagaimana sutradara Francis Lawrence mempersembahkan game di film ini dengan lebih menyakitkan. Secara visual, atraksinya mungkin tidak seheboh dengan apa yang dirasakan oleh Katniss di keempat film pertamanya. Tapi secara emosional, efeknya jauh lebih menyedihkan. Francis Lawrence menaruh aktor yang kelihatan seperti bocah beneran di arena. Satu di antaranya bahkan diperankan oleh Sofia Sanchez, seorang aktris dengan down syndrome. Dibandingkan dengan keempat film Hunger Games sebelumnya yang para aktornya kelihatan agak lebih dewasa, arena kali ini memberikan efek yang menyeramkan.
Bagian ketiga The Ballad of Songbirds & Snakes mungkin akan terasa seperti penurunan tensi. Tapi justru di bagian ini, film itu menjadi sangat menarik. Francis Lawrence sengaja merekam bagian ini dengan visual paling menyejukkan sepanjang film. Padang rumput yang lapang, pepohonan hijau dan air danau yang menggiurkan. Dua remaja yang tampan dan cantik duduk di tepi danau, merencanakan masa depan mereka. Visual yang romantis ini menjadi sebuah penekanan yang perlu saat nanti kita melihat bagaimana berubahnya Coryo menjadi Presiden Snow yang kita kenal.
Tentu saja seperti semua Hunger Games sebelumnya, film ini dipersembahkan dengan teknis audio visual dan akting yang gemilang. Peter Dinklage sanggup memberikan sinar penyesalan dari tatapan matanya. Jason Schwartzman menikmati sekali menjadi host. Dan tidak ada yang lebih bersenang-senang daripada Viola Davis yang dalam film ini menunjukkan tawa sakitnya. Rachel Zegler tentu saja mempunyai kemampuan akting yang mumpuni. Tapi dalam film ini, Zegler mempunyai cukup karisma untuk membuat karakternya gampang untuk dicintai.
Tetapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa The Ballad of Songbirds & Snakes adalah milik Tom Blyth. Blyth menelan semua adegan dengan mudah, bahkan ketika dia harus berhadapan dengan aktor sebuas Viola Davis. Bagian paling mengesankan adalah bagaimana Blyth menunjukkan transformasinya dari seorang manusia yang 'terpaksa' melakukan hal-hal keji untuk bertahan ke manusia yang 'rela' melakukan hal-hal ini untuk mahkota di kepalanya. Mudah untuk memerankan karakter ini dengan teatrikal tapi Blyth memilih jalur yang lebih halus tapi paten. Hasilnya adalah sebuah kegelapan yang begitu menyesakkan.
Ada banyak film yang membahas tentang origin story seorang villain. Dalam The Ballad of Songbirds & Snakes, Francis Lawrence merekam perubahan Coryo bukan untuk menunjukkan bahwa sejahat-jahatnya karakter ini, dia adalah manusia. Justru Lawrence membuat ini untuk menunjukkan bahwa semua hal buruk yang dilakukan oleh karakter ini, dilakukan oleh manusia. Bukan monster, bukan siluman, tapi manusia.
The Ballad of Songbirds & Snakes dapat disaksikan di jaringan XXI, Cinepolis, Flix, dan jaringan bioskop lainnya.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International
Lihat juga Video: 'The Hunger Games' Bakal Diadaptasi Jadi Pertunjukan Teater