Review The Killer of the Flower Moon: Kisah Epik nan Brutal dari Si Maestro

Candra Aditya - detikHot
Sabtu, 21 Okt 2023 09:04 WIB
Foto: Istimewa
Jakarta -

Memasuki abad 20, tanah Osage tiba-tiba menjadi harta karun dengan kehadiran minyak. Dengan ini maka muncullah visual yang akan terlihat aneh di mata penonton. Orang-orang Native American turun dari mobil mereka, mengenakan baju-baju terbaik mereka dan menjadi bos sementara orang-orang kulit putih menjadi tukang foto, sopir atau bahkan kuli. Beberapa dari mereka masih memegang kendali karena mereka percaya bahwa Native American tidak bisa mengelola uang mereka dengan baik. Tapi kenyataannya orang kulit putih di situ hanya numpang. Kenyataan ini membuat William King Hale (Robert De Niro) bergetar.

Ketika keponakannya, Ernest Burkhart (Leonardo DiCaprio), akhirnya muncul setelah "tugas"-nya di Perang Dunia pertama, si om yang mau dipanggil King ini mulai melaksanakan tugasnya. Baik King dan penonton tahu bahwa Ernest bukan orang tercerdas yang pernah ada. Tapi untuk ukuran Osage, muka Ernest bisa "dijual". Maka ketika Ernest akhirnya mulai tertarik dengan Mollie (Lily Gladstone), salah satu Native American yang belum menikah, King pun melakukan rencana berikutnya.

Bahkan sebelum Ernest dan Mollie benar-benar jatuh cinta, Eric Roth dan Martin Scorsese yang mengadaptasi The Killers of the Flower Moon dari buku non-fiksi best-seller karya David Grann, sudah menampilkan dengan jelas mayat-mayat para Native American yang berjatuhan. Dalam narasinya Mollie berkata bahwa mayat-mayat ini muncul dengan misteri. Secara visual, Scorsese menambahkan sosok laki-laki kulit putih yang menjadi eksekutor atas mayat-mayat ini. Tidak ada misteri soal kematian-kematian ini. Yang terjadi di layar adalah tragedi demi tragedi yang tak berkesudahan.

The Irishman yang dirilis empat tahun lalu di Netflix saya pikir akan menjadi usaha Scorsese terakhir untuk bercerita soal gangster. Tapi ternyata ia belum selesai. The Killers of the Flower Moon secara teknis memang bukan film soal mafia, sebuah tema yang sepertinya menjadi tanda tangan Scorsese. Tapi film ini tetap saja menceritakan tentang tindakan kriminal yang terorganisasi demi keserakahan manusia. Dan tidak ada yang bisa membuat film tentang sejarah Amerika yang dilukis melalui kisah bangkrutnya moral manusia selain Martin Scorsese.

The Killers of the Flower Moon mungkin tidak menampilkan adegan pembunuhan masal seperti film-film perang. Tapi apa yang ditawarkan Scorsese dalam film ini sama menyeramkan (dan sedihnya) seperti film-film perang yang membuang ribuan nyawa dalam sekali hempas. Kematian dalam film ini tidak ditampilkan dengan semangat bersenang-senang seperti film-film Scorsese. Saya melihat kesedihan dan luka mendalam di setiap kematian. Ada kematian yang ditampilkan dengan pengadeganan yang lebih energetic tapi sisanya lebih seperti momen meditasi. Hasilnya adalah visual-visual yang akan membuat penonton terlena.

Dengan durasi 206 menit (3 jam, 26 menit termasuk credit title), The Killers of the Flower Moon memang terlihat seperti sebuah tugas daripada tontonan. Tapi ini adalah film Martin Scorsese. Kalau ada yang tahu tentang mengatur pacing sebuah film, dia adalah orangnya. Semua durasi yang di atas kertas seperti buang-buang waktu tersebut ternyata tidak terbukti. Tiap frame yang ada dalam film ini mempunyai makna dan fungsi yang jelas. Bersama editor langganannya, Thelma Schoonmaker, Scorsese mempersembahkan The Killers of the Flower Moon dengan beat yang pas. Ada informasi yang sengaja disimpan, ada adegan-adegan yang magis, karakter-karakter masuk dan keluar tanpa permisi. Semuanya mempunyai maksud sendiri dan hasilnya adalah sebuah gaya bertutur yang sempurna. Tidak ada satu pun yang terbuang sia-sia.

Rodrigo Prieto, sinematografer yang juga tahun ini bekerja sama dengan Greta Gerwig melalui Barbie, melukis film ini dengan kemegahan yang tak terkira. Semua bujet 200 juta dollar itu terlihat di layar. Dibantu dengan desain produksi yang baik, Martin Scorsese sukses mengajak saya untuk mengunjungi awal abad 20 di tanah Osage. Saya bahkan hampir bisa mencium air sungai yang mengalir, ladang berisi bunga dan udara gosong setelah bom diledakkan.

Terakhir, tentu saja semua aktor yang ada di film ini menampilkan penampilan terbaik mereka. Scorsese tidak pernah salah casting bahkan untuk karakter yang hanya mempunyai satu dialog. Robert De Niro tidak butuh berteriak untuk terlihat angker. Hanya dengan satu gerakan di matanya, Anda akan tahu bahwa karakternya semenjijikkan itu. Leonardo di Caprio selalu tahu untuk menahan fokus penonton bahkan kalau karakter yang dia mainkan tidak menyenangkan untuk disimak. Tapi memang The Killers of the Flower Moon adalah milik Lily Gladstone. Dari pertama kemunculannya, Gladstone sanggup membius saya dengan tatapan matanya yang penuh. Namanya mungkin belum sebesar DiCaprio tapi ia bisa mengimbangi si bintang Hollywood itu dengan mudah.

The Killers of the Flower Moon memang bukan tontonan yang dibuat untuk bersenang-senang. Tapi menyaksikan film ini rasanya seperti mendapatkan hadiah dari maestro sinema yang tahu apa yang dia lakukan. Dua hari setelah saya menonton The Killers of the Flower Moon, beberapa gambarnya masih stuck di kepala saya. Dan sekali lagi, Martin Scorsese sukses menghantui saya.

The Killers of the Flower Moon dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.



Simak Video "Video Seberapa Serius Kasus Manipulasi Saham HYBE yang Jerat Bang Si Hyuk?"

(tia/tia)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork