Call Me Chihiro bukan untuk semua orang. Kalau Anda adalah jenis penonton yang butuh plot atau terbiasa menonton film yang setiap lima menit sekali ada kejadian seru yang membuat karakternya bergerak, film ini jelas bukan untuk Anda. Ini adalah film yang sangat lambat dan lembut. Tapi jika Anda memberanikan diri untuk mencobanya dan membiarkan film ini mengalir, mungkin Anda akan bisa mengerti keindahannya seperti saya yang tersentuh oleh film ini.
Karakter utamanya adalah Chihiro (Kasumi Arimura), seorang gadis yang bekerja di toko bento yang sebelumnya adalah sex worker di panti pijat. Chihiro tidak merahasiakan ini. Tidak hanya karyawan yang ada di toko bento tahu, hampir semua pembelinya tahu apa pekerjaan Chihiro sebelumnya. Chihiro tidak pernah terbawa emosi ketika pelanggan-pelanggan ini (yang kebanyakan adalah pria dewasa) menggodanya. Ia merespons semua jokes ini dengan sopan.
Sikap Chihiro yang tenang juga bisa Anda lihat di kota tempat ia tinggal, sebuah kota dekat laut yang jauh dari keriaan. Hidup orang-orang sini sangat sepi, kalau mau menghindari kata monoton. Salah satu hal yang paling menghebohkan mungkin adalah datangnya hujan. Kelak Chihiro akan bertemu beberapa orang yang sama-sama kesepian dan satu per satu hidup orang ini akan berubah. Tapi bisakah kau menghindari kesepian jika kesepian selalu mengejarmu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari awal Call Me Chihiro bermain, film ini sudah memberi tahu penonton seperti apa dirinya. Editingnya sungguh sabar alias jarang ganti shot. Sepanjang film, sutradara Rikiya Imaizumi (yang juga mengadaptasi manga karya Hiroyuki Yasuda bersama Kaori Sawai) membingkai frame film ini dengan sangat tenang. Sama sekali tidak ada pergerakan kamera. Lebih dari sekali, Rikiya Imaizumi membiarkan kamera diam dan merekam apa yang dilakukan karakter-karakternya.
Hasilnya cukup efektif, membuat penonton yang sabar untuk tenggelam ke dalam dunia Chihiro sepenuhnya. Tidak ada distraksi, tidak ada pariwara. Treatment ini juga langsung dengan mudah mengeliminasi penonton yang terbiasa menonton entertainment yang fast-paced. Saya yakin penonton yang tidak sabaran akan dengan cepat mengganti film ini dengan tontonan lain di Netflix setelah lima belas menit tanpa apa-apa.
Call Me Chihiro adalah perkenalan pertama saya dengan sutradara Rikiya Imaizumi. Lewat film ini saya mengagumi caranya mengarahkan aktornya yang sungguh apik. Semua aktornya melebur menjadi karakter-karakternya. Tidak hanya saya bisa merasakan semua emosi yang disampaikan, di tengah ketiadaan yang ditampilkan saya jadi bisa merasakan sekecil pun perubahan suasana. Chihiro mungkin adalah karakter yang sangat pasif. Tapi semua detail perubahan emosinya sungguh terasa. Bagaimana semakin lama ia tenggelam dengan memori peninggalan ibunya semakin membuatnya semakin kesepian. Bagaimana ia sekuat tenaga berganti profesi ternyata rasa kesepian itu tetap mengunjunginya.
Sebuah film meditasi, Call Me Chihiro membuat saya mempelajari cara untuk tidak menghakimi orang lain melalui karakter utamanya. Dalam film ini, saya melihat sex worker tanpa konotasi negatif (karena film ini membungkus seks sebagai bagian dari intimasi personal antar karakternya). Dalam film ini, kita bisa melihat hubungan erat dua orang tanpa memandang identitas. Manusia adalah manusia, titik.
Call Me Chihiro mungkin bukan film yang akan saya tonton berulang-ulang. Tapi setiap kali saya merasa kesepian, saya pasti akan menonton film ini lagi. Di mana pun Anda, kesepian adalah perasaan yang sangat humanis. Dan dengan film ini, kita diundang untuk memeluk perasaan itu bersama-sama. Kesepian tidak selamanya menyakitkan.
Call Me Chihiro dapat disaksikan di Netflix.
(mau/mau)