Jika Anda mencintai thriller seperti 'Argo', maka kehadiran 'The Red Sea Diving Resort' akan membuat Anda bahagia. Cerita tentang kisah heroik para agen rahasia menyelamatkan nyawa manusia-manusia lain selalu menarik untuk diikuti.
Dan seperti 'Argo', 'The Red Sea Diving Resort' juga didasarkan kisah nyata. Perbedaannya adalah yang satu memenangkan Oscar dan yang satu sepertinya akan berakhir menjadi thriller yang asyik ditonton kalau Anda sudah kekurangan bahan tontonan.
Di sini Chris Evans menjadi kepala geng, seperti yang dia lakukan di film-film Marvel. Perbedaannya adalah Ari Levinson, karakter yang dimainkannya, tidak mengikuti aturan atau terlihat seperti bocah baik-baik seperti yang ia tunjukkan saat dia menjadi Captain America.
![]() |
Ari Levinson adalah sosok superior yang gampang marah, acak adul, suka melakukan sesuatu tanpa memikirkan orang lain, tidak bisa dikontrol dan ugal-ugalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tugas mustahil ini akhirnya ia lakukan dengan bantuan teman-temannya yaitu Rachel Reiter (Haley Bennett), Jake Wolf (Michiel Huisman), Max Rose (Alex Hassell) dan Sammy Navon (Alessandro Nivola). Ari mengaku bahwa dia berencana untuk membuat kamuflase dengan membuka hotel. Dan rencana ini pun dimulai.
Kalau kita mau mencoba membahas 'The Red Sea Diving Resort' menjadi lebih serius, tentu saja produk ini adalah sebuah produk Hollywood yang lagi-lagi mengedepankan ras kulit putih yang tampil gemilang menjadi penyelamat.
![]() |
Ini bukan satu-satunya atau bahkan menjadi film terakhir yang menampilkan hal ini. Film pemenang Oscar tahun ini saja, 'The Green Book', mempunyai tema yang sama.
Orang kulit putih yang berjasa merubah hidup orang kulit hitam. Dan di sebuah era dimana politically-correctness menjadi mata uang, 'The Red Sea Diving Resort' jelas tidak lolos seleksi.
Sebagai film 'The Red Sea Diving Resort' juga agak kebingungan arah. Ditulis dan disutradarai oleh Gideon Raff (pembuat serial 'Prisoners of War' yang menjadi inspirasi serial hit 'Homeland'), 'The Red Sea Diving Resort' adalah sebuah film yang tone-nya berubah tapi tidak untuk hal yang positif.
Di awal-awal 'The Red Sea Diving Resort' menjanjikan sebuah thriller yang agak berkelas. Nuansanya mirip-mirip 'Argo'. Menjelang paruh kedua, 'The Red Sea Diving Resort' berubah menjadi film action standar.
Sungguh disayangkan karena penonton harus mendapatkan dialog-dialog seperti "Apa yang kita lakukan ini berbahaya. Kadang-kadang orang akan terkena akibatnya" atau semacam "Kita tidak meninggalkan satu orang pun". Sungguh melelahkan.
Mengingat apa yang sudah dia lakukan dengan serial Marvel, Chris Evans harusnya tahu peran ini terlalu cemen untuk aktor sepertinya.
Tapi ternyata skrip Gideon Raff tidak hanya mempengaruhi Chris Evans tapi juga aktor-aktor lain yang lebih berpengalaman seperti Greg Kinnear dan Ben Kingsley. Yang kebanyakan melakukan kerja mereka dengan jalan-jalan di situation room sambil sesekali berkata, "Bagus sekali."
Dan yang paling membuat garuk-garuk kepala adalah penggambaran karakter antagonisnya yang sungguh-sungguh klise. Tidak hanya dia menyukai musik yang keras dan menggoda wanita, mereka juga digambarkan tidak mempunyai karakterisasi lain selain jahat.
![]() |
Tentu saja sebagai film action standar, ini semua lumrah-lumrah saja. Tidak ada yang peduli dengan penjahat jika kita bisa menyaksikan Bruce Willis bertarung. Tapi jika 'The Red Sea Diving Resort' berniat untuk menjadi sebuah thriller yang aduhai, sayang sekali usahanya gagal.
Chris Evans dan kawan-kawan memang memberikan misi yang lumayan menghibur tapi tidak sedalam itu untuk membuatnya patut dikenang.
The Red Sea Diving Resort dapat disaksikan di Netflix.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International
(doc/doc)