'Captain Marvel': Sekadar Jembatan Menuju Endgame

'Captain Marvel': Sekadar Jembatan Menuju Endgame

Candra Aditya - detikHot
Kamis, 07 Mar 2019 12:27 WIB
Foto: (Entertainment Weekly)
Jakarta - Captain Marvel dibuka dengan kilasan-kilasan gambar. Kita melihat Vers (Brie Larson) dengan rambut acak-acakan, hidung berdarah dan asap mengelilinginya.

Seperti halnya Vers, kita tidak tahu apa yang terjadi. Atau terlebih lagi, mengapa gambar tersebut menjadi pembuka film superhero wanita pertama Marvel. Tapi ternyata opening tersebut cukup krusial. Karena film ini ternyata tentang pencarian jati diri.

Vers tidak tahu apa maksud mimpi tersebut. Oleh karenanya dia bertanya kepada guru sekaligus temannya, Yon-Rogg (Jude Law), tentang maksud ini semua.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Vers yang mempunyai kekuatan super dilatih untuk mengontrol kekuatannya. Kata Yon-Rogg, Vers harus belajar mengontrol emosinya. "Kamu harus belajar menggunakan kepala dan bukannya hati." Yon-Rogg mengatakan ini sebelum mereka melakukan tugas mereka.

Dan tugas mereka rupanya membasmi bangsa Skrull yang jahat. Mereka bisa berubah menjadi apa saja.

Ingatan Vers diperas oleh Talos (Ben Mendelsohn), pemimpin bangsa Skrull.




Vers berhasil meloloskan diri dan dia terlempar ke Bumi. Dan tentu saja, kilasan-kilasan gambar kembali bermunculan.

Siapakah wajah-wajah itu? Apa maksud ini semua? Dan pada akhirnya, dunia yang Vers kenal berubah 180 derajat.

'Captain Marvel' pada akhirnya menjadi film yang cukup penting bukan karena tokohnya yang ikonik tapi karena ketidaksengajaan. Film ini hadir ketika industri film (baca: Hollywood) mulai berusaha menjadi semakin oke dan menempatkan perempuan bukan hanya sebagai center of the story tapi juga sebagai pelaku cerita.

Perempuan yang dalam genre superhero biasanya digunakan sebagai pemanis (seperti misalnya Gwyneth Paltrow dalam 'Iron Man' atau Rachel McAdams dalam 'Doctor Strange') kali ini mendapatkan giliran untuk menjadi bad-ass.

Fakta bahwa 'Captain Marvel' adalah film superhero perempuan pertama Marvel membuat ia menjadi semakin dinanti-nantikan.

Ditulis dan disutradarai oleh Anna Boden dan Ryan Fleck (dengan cerita dari Nicole Perlman, Meg LeFauve dan Geneva Robertson-Dworet), 'Captain Marvel' mengusung semangat girl power yang sekarang sedang tren.

'Captain Marvel' bahkan tanpa malu-malu memberikan pesan bahwa kelemahan bisa menjadi kekuatan. Emosi perempuan yang biasanya diasosiasikan sebagai weakness justru dalam kasus 'Captain Marvel' menjadi sumber kekuatan dia.



Dari segi plot, 'Captain Marvel' sebenarnya tidak ada bedanya dengan film-film origin story serupa. Kita masih mendapatkan jokes demi jokes, meskipun porsinya tidak lebih banyak dari film-film Marvel yang lain.

Sayangnya, tidak seperti film-film Marvel yang lain yang sepertinya lebih percaya diri dalam bercerita, first act film ini agak kebingungan mencari tempat untuk berdiri. Pengenalan tokoh dan dunia 'Captain Marvel' sangat tidak menarik dan sangat generic pada saat yang bersamaan. Nuansanya lebih mirip seperti Star Trek KW atau versi murah 'Guardians of the Galaxy'.

Film baru mulai terasa asyik ketika Vers bertemu dengan Captain Fury (Samuel L. Jackson) dan mencari tahu siapa identitas dia sebenarnya. Di atas kertas, film superhero yang sedang mencari identitas diri bisa menjadi film superhero yang lain dari yang lain.




Sayangnya, misteri yang diberikan oleh pembuatnya tidak semenarik itu sehingga ketika Vers berubah menjadi 'Captain Marvel' yang sakti mandraguna (Thanos harus berhati-hati), rasanya justru seperti anti-klimaks.

Brie Larson adalah seorang aktris yang sangat berbakat. Kemunculannya yang singkat di 'Scott Pilgrim Vs. The World' memberikan kesan yang begitu mendalam. Permainannya yang ekstra jenius di 'Short Term 12' membuatnya langsung dinobatkan menjadi aktor masa depan.

Dan semua orang setuju bahwa dia memang seorang maestro dalam berakting ketika 'Room' dirilis. Larson terlihat sekali bersemangat bermain menjadi Vers.

Sayang sekali skrip yang dia dapat tidak seimbang dengan talenta yang ia miliki. Meskipun Larson berusaha keras untuk mengisi karakter ini dengan emosi dan arc yang kuat, Vers tampil biasa saja. Dibandingkan dengan Wonder Woman, aksi Captain Marvel terasa tanpa semangat.

Ben Mendelsohn mendapatkan kesempatan untuk menjadi penjahat dan ia sukses melakukannya dengan sempurna. Samuel L. Jackson yang mendapatkan treatment digital untuk membuatnya tampak lebih muda terasa lebih fresh karena ini pertama kalinya kita menyaksikan Fury dengan dua mata yang sehat dan pengalamannya yang masih minim. Tapi hero dari Captain Marvel adalah si kucing bernama Goose. Dia begitu mencuri perhatian dan sumber tawa paling efektif.

Dengan setting 90-an, lengkap dengan lagu-lagu dari Nirvana, No Doubt dan bahkan Garbage, Captain America akhirnya menjadi korban sebuah ekspektasi yang tinggi. Film ini tidak buruk. Tapi film ini juga tidak spesial.

Dibandingkan dengan "saudaranya" seperti 'Thor: Ragnarok' atau bahkan 'Black Panther', film ini tidak ada apa-apanya. Bahkan dibandingkan dengan 'Wonder Woman', film ini masih keteteran.

Tapi mungkin itu hanya trik Marvel agar kita semua menyaksikan 'Avengers: End Game' bulan depan. Kita tidak tahu apa yang disimpan Kevin Feige untuk mengejutkan kita semua. (dar/doc)

Hide Ads