Soe Hok Gie Sang Pejuang Intelektual

Soe Hok Gie Sang Pejuang Intelektual

- detikHot
Kamis, 14 Jul 2005 23:01 WIB
Jakarta - Kritis, berani dan jujur. Begitulah sosok seorang pemuda di awal tahun 1960-an, Soe Hok Gie. Dalam pandangannya, Presiden Soekarno adalah lanjutan dari pada raja-raja Jawa. Beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton dan lain-lain. Tajam!Diangkat dari buku 'Soe Hok Gie: catatan seorang demonstran', Mira Lesmana dan Riri Riza menuangkan dalam versi layar lebar dengan interpretasi sendiri. Tak menyeluruh mengikuti naskah bukunya, mereka mengambil garis besar buah pikir dan kehidupan Gie yang cukup kompleks dan diproses untuk sebuah tontonan komersil.Dan itu tak mudah. Setting cerita di tahun 1960-an cukup sulit dicari. Akhirnya, Semarang menjadi lokasi syuting utama yang dianggap sangat dekat dengan penggambaran Jakarta kala itu. Mobil-mobil yang berseliweran di dalam film tersebut, juga dengan penuh perjuangan untuk mendapatkannya. Selain pinjam, ada juga yang direnovasi kanan-kiri agar mendekati mobil a la tahun 1960-an.Hasilnya, cukup memuaskan. Layak menjadi tontonan bagi siapa pun yang berkesan dengan pemikiran orisinil seorang Gie dan mencari tontonan alternatif di tengah maraknya film bergenre remaja dan horor.Mengintip Sosok Gie Dalam FilmSejak usia 15 tahun, Gie yang duduk di bangku SMP sudah mulai menggoreskan kesehariannya dalam sebuah buku. Inilah awal pembuka film yang harus menjalani proses produksi selama tiga tahun. Suara Nicholas Saputra yang memerankan tokoh Gie, memperkenalkan dirinya.Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Kira-kira pada umur lima tahun saya masuk sekolah Sin Hwa dan seterusnya.Gambar dimulai dengan keresahan masyarakat akan revolusi di tahun 1957. Tembok-tembok menjadi sasaran inspirasi mereka atas keinginan akan perubahan yang cepat menuju perbaikan hidup yang layak. Sosok Gie, yanga bercelana pendek dan berkaos oblong, menjadi saksi mata akan ketidakpuasan sebagian bangsa Indonesia kala itu.Walau terbilang masih cukup muda, Gie sudah memiliki pemikiran-pemikiran yang tak terbendung. Jika ada yang tak berkenan dan salah menurut pandangannya, ia tak segan-segan membantah. Ia berani mengoreksi gurunya yang mengatakan Chairil Anwar adalah pengarang prosa Pulanglah dia si anak hilang. Gie yakin pengarangnya adalah Andre Gide, seorang sastrawan yang bukunya sudah dilahapnya dan Chairil hanyalah penerjemah. Sang guru tadi tetap ngotot akan pendapatnya. Tak ada yang mengalah, Gie dipaksa mengulang kelas. Dan itu kembali diprotesnya.Sejak SMP, Gie memang sudah haus dengan dunia sastra. Buku karya Spengles, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Shakepeare sudah dicernanya dalam otak. Namun itu juga dikritisinya habis-habisan. Misalnya saja kisah legendaris 'Romeo and Juliet'. Romantisme yang tertuang di dalamnya dianggap tak masuk akal dan menjemukan.Dengan alur cerita maju, Riri Riza berhasil menuangkan dengan baik peralihan Gie dari ia masih bercelana pendek hingga bercelana panjang. Keterangan waktu yang penting di film ini menjadi pembuka babak penting kehidupan Gie. Dari SMP menginjak SMA, Gie diperankan oleh Jonathan Mulia. Saat ia menginjak bangku kuliah di Universitas Indonesia pada tahun 1962, sosok Gie dewasa beralih ke Nicholas Saputra. Tampak 'rapi', wajah Gie kecil dan Gie dewasa cukup memiliki kemiripan.Tak semua tokoh yang ada dalam film Gie ini pernah ada. Misalnya Shinta dan Ira. Dua wanita yang digambarkan dekat dengan Gie itu hanyalah nama yang diciptakan. Pujaan hati Gie sesungguhnya bernama Maria. Dalam kenyataannya, Gie tak bisa memiliki Maria karena keluarganya tidak setuju.Diam menjadi kekuatan karakter sosok Gie. Pada nyatanya, menurut Riri, Gie memang sangat pendiam. Menurut pengakuan Riri yang sempat mewawancara Arif Budiman, kakak beradik itu pernah tak bicara selama 10 tahun hanya karena mempertahankan pandangan masing-masing. Dan syukurnya, Nicholas akhirnya berhasil melepas karakter 'jaim' Rangga di Ada Apa dengan Cinta dan bermain baik mulai di pertengahan film. Sosok Gie yang diam, dewasa, memiliki idealisme tinggi, tampak dikuasai olehnya. Bahkan dari cara menirukan jalan Gie yang sedikit 'kemayu'.Menjadi bumbu penyegar, tak lupa film ini diselipkan kisah romansa sang demonstran di tengah-tengah kesibukannya membagi pemikiran-pemikiran di kampusnya. Gie yang kaku, harus menahan rasa sukanya pada Ira, teman seperjuangannya di kampus. Kendati begitu, ciuman pertamanya bersarang di bibir Sinta, seorang wanita yang pada akhirnya digambarkan menyerah pada kekayaan material. Dan itu tak dimiliki Gie.Namun hidup terus berjalan untuknya. Ia makin kritis kepada pemerintah yang mulai bertindak sewenang-wenang menaikkan harga. Hatinya miris melihat rakyat yang mengantri demi mendapatkan kebutuhan pokok. Dan buah pikirnya menjadi sajian koran-koran terkemuka sekaligus menampar pemerintah. Akibat perbuatannya itu, ia mulai dicari-cari 'seseorang' untuk 'diamankan'.Hati Gie semakin terpaku melihat teman seperjuangannya mulai melupakan keidealisannya. Mereka menduduki bangku parlemen dan mulai mengecap enaknya berbahagia di atas penderitaan rakyat kecil. Gie pun mulai menarik diri dari keterasingannya. Di puncak Semeru, 16 Desember 1969, sang demonstran merasakan sesaknya menghirup gas beracun. Sehari menjelang usianya ke 27 tahun, Soe Hok Gie yang enggan berganti nama menghembuskan nafas terakhir disaksikan sahabat karibnya, Herman Lantang.Catatan Harian Soe Hok Gie: Senin, 22 Januari 1962'Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda.'Saksikan Gie mulai 14 Juli 2005. (ana/)

Hide Ads