Blade Runner 2049 (IMAX): Sebuah Misteri Fiksi Ilmiah Paling Megah Tahun Ini

Blade Runner 2049 (IMAX): Sebuah Misteri Fiksi Ilmiah Paling Megah Tahun Ini

Candra Aditya - detikHot
Jumat, 13 Okt 2017 18:25 WIB
Foto: Dok. Warner Bros. Pictures
Jakarta - Bagaimana Anda membuat sebuah sekuel dengan jarak 35 tahun dari film pertamanya? Bagaimana Anda membuat sebuah sekuel sebuah film yang setelah berjalannya waktu dianggap menjadi magnum opus genre science fiction? Bagaimana Anda bisa menandingi kedahsyatan 'Blade Runner' yang melegenda? Ternyata jawabannya adalah mengontak sutradara Kanada, Denis Villeneuve, sebagai komandannya. 'Blade Runner 2049' tidak hanya berhasil menjadi sebuah film solo yang berdiri sendiri, namun juga sebuah sekuel yang tidak akan mengecewakan film pertamanya. Ini adalah sebuah karya masterpiece yang membuat para pecinta science fiction bahagia sampai ingin menangis.

K (Ryan Gosling) adalah seorang polisi Los Angeles yang tugasnya adalah membunuhi replicant yang sudah expired. Ironisnya, K sendiri adalah seorang replicant. Tapi apapun bentuknya, K adalah karyawan Joshi (Robin Wright, memanfaatkan aura dinginnya ke level paling maksimal) yang paling bisa diandalkan. K selalu patuh terhadap perintah dan tidak pernah mempertanyakan misinya. Sampai dia mendapatkan tugas untuk membunuh salah satu replicant yang mengatakan bahwa, "Kau belum pernah melihat mukjizat."

Hidup K sangat monoton. Di sebuah kota yang terasa begitu sesak, dengan udara yang penuh racun, iklan-iklan melayang di udara, tulisan dalam berbagai bahasa campur aduk di satu tempat dan dunia yang memandang sebelah makhluk yang bukan manusia, K mendapatkan segelintir kesenangan dengan pacar hologramnya, Joi (Ana de Armas). Hubungan mereka mirip dengan Samantha dan Theodore di 'Her', hanya saja lebih menyakitkan karena K rela melakukan apa saja demi kekasihnya yang virtual ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Misteri yang diselidiki K ternyata membuat Joshi gusar. Ia menyuruh untuk K segera menutup apapun akses orang luar terhadap akses ini. "Dunia dibentuk atas dinding," ucap Joshi memulai monolognya. Dia memperingatkan betapa kacaunya dunia kalau orang-orang akan tahu tentang rahasia ini. Untuk pertama kalinya K merasa tergelitik. Dia merasa misteri ini melebihi eksistensi dia sebagai orang yang mempensiunkan para replicant lain. Ketika akhirnya K mengikuti nalurinya dan mengusut misteri ini, dia terbawa ke sebuah perjalanan yang membuatnya bertanya apa sebenarnya yang nyata.

Sinopsis di atas terdengar sangat ambigu, karena memang sengaja ditulis seperti itu. 'Blade Runner 2049' adalah salah satu sedikit film yang semakin Anda tidak tahu apa-apa tentang plotnya, filmnya akan terasa semakin menarik. 'Blade Runner 2049' memang bisa ditonton terpisah dengan film sebelumnya. Tapi menonton film pertamanya adalah sebuah kewajiban jika Anda ingin merasakan betapa powerfulnya film garapan Villeneuve ini.

Yang membuat 'Blade Runner 2049' menjadi mentereng adalah ia tidak ingin menjadi sebuah film yang 'berbeda' dengan film sebelumnya. Penulis skripnya, Hampton Fancher (penulis film pertamanya) dan Michael Green, mengangkat tema yang sama dengan film pertamanya kemudian mengembangkannya menjadi sebuah perjalanan spiritual yang begitu megah dan menghanyutkan. Itu sebabnya 'Blade Runner 2049' berdurasi hampir tiga jam. Sebagai penonton, Anda dengan sengaja digiring secara pelan-pelan memasuki sebuah dunia yang benar-benar menyesakkan, hampa, sunyi, namun begitu indah dipandang mata. Anda dirangkul untuk menyentuh permukaan dunia 2049 dan mencerna informasi baru sesuai dengan karakter protagonisnya. Banyak adegan yang sengaja dibuat untuk eksposisi memang, namun hal tersebut tidak terasa mengganggu karena Villeneuve berhasil mengejawantahkan skrip dengan visualisasi yang paten.

Dan sungguh, visualisasi 'Blade Runner 2049' adalah alasan kenapa Anda harus menonton film ini di layar bioskop. Dalam presentasi IMAX, dunia dalam 'Blade Runner 2049' menari-nari dengan indah. Didukung dengan production design karya Dennis Gassner yang membuat Anda menahan nafas dan tangan dingin Roger Deakins sebagai sinematografer, 'Blade Runner 2049' akan membuat Phillip K. Dick bangga. Hologram-hologram yang berjalan, lampu neon yang berkedip-kedip, kabut putih yang begitu sendu, warna orange yang begitu menyesakkan dan ruangan-ruangan yang nampak begitu steril tapi menimbulkan kengerian adalah alasan kenapa Roger Deakins layak disebut maestro. Ditambah dengan scoring dari Hans Zimmer dan Benjamin Wallfisch, Anda akan tertarik langsung ke perjalanan K yang begitu menghipnotis.

Sejak Incendies, Villeneuve memang sudah menjadi sutradara yang layak untuk disimak. Menyaksikan 'Blade Runner 2049', Anda akan memahami bahwa film-film dia sebelumnya adalah pembuktian bahwa dia bisa menggoreng blockbuster ratusan juta dollar menjadi sebuah karya seni yang sangat tinggi. Prisoners membuktikan bahwa ia cekatan dalam mengolah misteri. Enemy menunjukkan betapa cekatannya ia dalam menggambarkan paranoia. Sicario adalah pertunjukan Villeneuve sebagai maestro suspense. Dan, 'Arrival' adalah bukti bahwa ia bisa menunjukkan bahwa science fiction bukan perkara alat-alat canggih dan alien saja namun sebuah refleksi tentang kemanusiaan. Semua aspek terbaik dalam film-filmnya bisa disaksikan dalam 'Blade Runner 2049'.

Dengan barisan cast yang sama sekali tidak mengecewakan, 'Blade Runner 2049' adalah sebuah sekuel yang amat sangat jarang dihadirkan oleh Hollywood namun kehadirannya begitu dinantikan. Film ini mungkin tidak akan menjawab banyak pertanyaan. Film ini justru menghadirkan pertanyaan-pertanyaan baru. 'Blade Runner 2049' bukanlah revolusioner dalam bercerita. Tapi, ini adalah sebuah pembuktian para pembuat film yang sanggup menyuguhkan blockbuster tanpa membodohi penonton. Ini adalah alasan kenapa kita pergi ke bioskop. Untuk terlena ke dalam dunianya, dihanyutkan dengan misterinya dan akhirnya bertanya, "Apakah para android bermimpi tentang kambing-kambing elektrik?".


Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.

(mau/mah)

Hide Ads