Jika Anda penggemar film-film horor yang tidak menganggap dirinya terlalu serius, penuh adegan berdarah dan kisah cinta anak SMA yang klise tapi ngangenin, 'Wish Upon' adalah film untuk Anda. Ditulis oleh Barbara Marshall dan disutradarai oleh John R. Leonetti, 'Wish Upon' adalah horor bagi Anda yang rindu dengan camp horror tahun '80-an atau '90-an.
Marshall menggunakan gadis remaja sebagai tokoh protagonisnya. Clare (Joey King) adalah gadis piatu yang masih terbayang-bayang oleh ibunya yang mati bunuh diri. Tidak hanya dia berasal dari keluarga menengah, ayahnya gemar untuk mengaduk-ngaduk tempat sampah sebagai hobi. Ini membuat status sosialnya semakin tidak jelas di sekolahnya. Hari-hari di mana dia dianggap penting di sekolah sudah tidak ada. Siswa-siswi populer menganggapnya wabah menjijikkan. Dan cowok yang dia taksir tidak pernah menganggapnya ada.
![]() |
Kemudian Clare pulang dari sekolah dan ayahnya mengatakan bahwa dia menemukan sesuatu yang menarik. Clare mendapatkan sebuah kotak musik dengan aksara Cina yang misterius. Kotak ini ternyata bisa mengabulkan tujuh permintaan. Tentu saja ketika Clare meminta salah satu murid populer di sekolah untuk membusuk, hal tersebut benar-benar terjadi. Anehnya, keesokan harinya anjingnya meninggal dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menonton Wish Upon tidak ada bedanya dengan menonton 'Final Destination'. Tidak ada karakter yang mempunyai kesan mendalam. Semuanya hanya hiburan karena mereka akan mati satu per satu dengan cara mengenaskan. Ini bukan spoiler namun melainkan sebuah hiburan tersendiri. Hiburannya bukanlah "mengapa mereka harus mati?" melainkan "bagaimana dan siapa yang akan mati selanjutnya?"
![]() |
Karena ditargetkan untuk penonton remaja, Leonetti tidak bisa memberikan adegan-adegan kematian yang sangat ekstrem seperti yang menjadi ramuan andalan serial 'Final Destination'. Namun di sinilah Leonetti menunjukkan kemampuannya. Meskipun adegan-adegannya tidak semengerikan 'Final Destination', ia masih sanggup membuat penonton setidaknya menutup mata mereka sebentar. Setelah beberapa saat, adegan-adegan kematian dalam 'Wish Upon' membuat penonton deg-degan untuk mengantisipasi apa yang terjadi.
Kelemahan film tentu saja adalah repetisi. Setelah penonton tahu "cara main" kotak musik tersebut, aspek kejutannya banyak berkurang. Setelah 30 menit pertama, penonton akan segera bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Marshall bahkan tidak perlu repot-repot untuk memberikan karakterisasi yang spesial terhadap karakter protagonisnya. Karena toh yang penting adalah bagaimana penonton melihat efek-efek menyeramkan dari permintaan yang sudah dikabulkan oleh kotak musik aneh tersebut.
Tetapi, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, 'Wish Upon' adalah sebuah film horor sederhana yang tidak berusaha keras untuk menjadi sesuatu yang berbeda. Film ini tahu maunya apa dan bagaimana cara menghibur penontonnya. Dan resolusi filmnya yang cukup tak terduga membuat 'Wish Upon' menjadi tontonan yang cukup mengasyikkan untuk ditonton di waktu senggang.
Candra Aditya
Writer/Filmmaker