Dunia perfilman sudah berubah total sejak dekade 90-an. Hadirnya streaming service membuat bioskop perlahan mulai meredup. Orang-orang lebih memilih untuk menonton film via internet di genggaman tangan mereka. Meskipun bioskop masih menjadi satu-satunya cara untuk menikmati pengalaman sinematik yang tiada duanya dengan layar besar dan audio yang menggelegar, banyak orang lebih memilih untuk menikmati untuk menonton sambil tiduran di kamar mereka masing-masing.
Hadirnya Netflix dan konco-konconya untuk merilis film mereka via online—yang akan datang adalah Okja karya Bong Joon-ho yang digadang-gadang menjadi film keluarga yang sensasional—juga mendukung perubahan ini. Para studio film melihat ini sebagai ancaman. Akibatnya jarang sudah film-film dengan bujet tengah-tengah yang biasa kita temui di dekade 90-an dan tahun-tahun sebelumnya.
Satu-satunya cara bagi studio-studio besar Hollywood untuk merampok uang penonton adalah dengan menciptakan franchise yang menawarkan spektakel yang tidak ada duanya. Itulah sebabnya Disney mereka ulang semua film-film animasi klasik mereka. Itulah sebabnya Universal akan memeras serial Fast and Furious sampai akhir hayat. Itulah sebabnya akan ada begitu banyak seri dan spin off Star Wars. Itulah sebabnya Marvel dan DC berbondong-bondong untuk memamerkan pahlawan-pahlawan mereka. Buyar sudah logika bercerita, yang penting adalah film-film beradegan sensasional dengan efek CGI yang megah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Meskipun berjudul sama dengan film garapan Stephen Sommers yang dirilis pada tahun 1999, 'The Mummy' yang sekarang sangatlah berbeda. Kesamaannya mungkin adalah bangkitnya si mumi dan kedua tokoh utamanya agak slengean. Tapi kesamaan mereka berhenti disana. Di 'The Mummy' era milenial, Tom Cruise berperan sebagai Nick Morton, seorang tentara yang mempunyai sampingan untuk hunting harta karun untuk dijual di pasar gelap.
Partner-nya adalah Chris Vail (Jack Johnson, diimpor langsung dari serial New Girl) yang sebenarnya enggan dengan tingkah ugal-ugalan Nick namun masih melotot ketika melihat emas. Mereka berdua ditembaki oleh warga lokal ketika berada di Irak. Sampai akhirnya bantuan dari negara mereka menyebabkan mereka secara tidak sengaja menemukan makam putri Mesir. Fakta bahwa Mesir dan Irak adalah dua negara yang berbeda membuat keadaan menjadi semakin horor. Apalagi ketika arkeolog cantik bernama Jenny Halsey (Annabele Wallis) datang dan mengatakan bahwa, "Ini bukan makam. Ini adalah penjara."
Tentu saja, manusia-manusia itu mengangkut sarkofagus si putri Mesir untuk diteliti. 'The Mummy', dengan bintang besar Tom Cruise, adalah pembukaan untuk seri ini. Meskipun berjudul sama dengan film garapan Stephen Sommers yang dirilis pada tahun 1999, The Mummy yang sekarang sangatlah berbeda.
Kesamaannya mungkin adalah bangkitnya si mumi dan kedua tokoh utamanya agak slengean. Tapi kesamaan mereka berhenti disana. Di The Mummy era milenial, Tom Cruise berperan sebagai Nick Morton, seorang tentara yang mempunyai sampingan untuk hunting harta karun untuk dijual di pasar gelap. Partner-nya adalah Chris Vail (Jack Johnson, diimpor langsung dari serial New Girl) yang sebenarnya enggan dengan tingkah ugal-ugalan Nick namun masih melotot ketika melihat emas.
Mereka berdua ditembaki oleh warga lokal ketika berada di Irak. Sampai akhirnya bantuan dari negara mereka menyebabkan mereka secara tidak sengaja menemukan makam putri Mesir. Fakta bahwa Mesir dan Irak adalah dua negara yang berbeda membuat keadaan menjadi semakin horor. Apalagi ketika arkeolog cantik bernama Jenny Halsey (Annabele Wallis) datang dan mengatakan bahwa, "Ini bukan makam. Ini adalah penjara."
Tentu saja, manusia-manusia itu mengangkut sarkofagus si putri Mesir untuk diteliti. Di dalam Sebagai sutradara Alex Kurtzman berusaha keras untuk membuat film ini bernafas seperti film pertamanya: penuh petualangan, mistis namun tetap memberikan aura romansa yang kuat. Jika Stephen Sommers berhasil melakukannya dalam versi 1999, di film ini Kurtzman jelas-jelas sesat di jalan.
Babak pertama 'The Mummy' memang diakui masih menjanjikan, namun begitu si mumi menebar teror, film ini malah letoy. Sementara itu, unsur mistis yang pekat di dalam versi 1999 hilang di film ini. Film ini tidak terasa angker sama sekali. Teror yang ditampilkan di layar kelihatan semedioker film-film millenial kebanyakan yang berpangku pada spesial efek.
Soal bagian romansa, Kurtzman gagal menyampaikan kisah cinta tersebut dikarenakan kedua karakter tidak mempunyai karakter yang tiga dimensional. Baik Jenny Halsey maupun Nick Morton tidak mempunyai karakter yang jelas—motivasi, wants, need—untuk membuat kisah mereka menggelegar.
Chemistry mereka yang absen juga jelas tidak membantu. Akibatnya babak ketiga yang jelas-jelas membutuhkan bagian romansa mereka untuk menjadi turning point yang dramatis malah berakhir menjadi bagian paling lemah dalam film ini. Tom Cruise sebagai bintang film kelas A memang berusaha keras untuk membawa film ini di pundaknya.
Sebagai seorang aktor, Tom Cruise begitu telaten dalam mempersembahkan blockbuster. Serial 'Mission:Impossible', serial 'Jack Reacher', 'Oblivion', 'Edge of Tomorrow' sampai 'Minority Report' menunjukkan betapa totalnya Tom Cruise dalam mempersembahkan tontonan yang tiada duanya.
Sayangnya, hal tersebut tidak bisa ditemukan di dalam film ini. Tom Cruise tidak hanya terasa seperti kerangka tak bernyawa namun juga terasa sekali dia tersesat ke dalam belantara yang gelap gulita.
'The Mummy' memang masih mempunyai bagian yang menyenangkan seperti adu bacot antara Tom Cruise dan Jack Johnson. Tapi dibutuhkan lebih dari film medioker untuk bisa melahirkan franchise yang patut untuk ditunggu. Dan sayangnya, 'The Mummy' bukanlah film tersebut.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.