Raihan penonton yang cukup mengesankan. Walaupun, dengan materi film dan segala suguhan yang ditawarkan, penonton 'Kartini' semestinya lebih banyak lagi. Idealnya, film ini sudah sepatutnya menjadi film Indonesia box office sepanjang masa.
Namun, yang ideal-ideal, yang utopis, memang jarang mendapatkan tempat di negeri yang kita cintai ini. Tapi mengapa pujian saya terhadap 'Kartini' sebesar itu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film yang diproduseri Robert Ronny, 'Kapan Kawin?' merupakan film biografi Raden Ajeng Kartini paling bagus, yang pernah dibuat oleh sineas tanah air. Sekaligus secara umum, beginilah seideal-idealnya film biografi dibuat.
Film biografi bukanlah hal baru bagi sutradrara Hanung Bramantyo, 'Rudy Habibie', 'Soekarno: Indonesia Merdeka', dan 'Sang Pencerah' adalah film-film biografi besutannya. Namun baru 'Kartini' inilah karyanya yang betul-betul saya apresiasi dan kagumi.
'Rudy Habibie', 'Soekarno', dan 'Sang Pencerah' jatuh menjadi sekadar film berisikan rangkuman dari kisah hidup sang tokoh lewat peristiwa demi peristiwa hidup yang pernah dilalui tokohnya.
Penggarapannya (secara naskah maupun penyutradaraan), kerapkali melupakan bahwa sang tokoh dan tokoh-tokoh pendukung adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, manusia yang lebih memiliki dimensi ketimbang peristiwa-peristiwa yang pernah mereka lalui.
Film 'Soekarno' mestinya bukan soal bagaimana ia membacakan teks proklamasi, atau bagaimana ia berpidato di atas panggung lantas disoraki rakyat-rakyatnya. Film 'Soekarno' lewat penggarapan yang ideal, mestinya berkisah ihwal pergolakan batin dirinya.
Ihwal gagasan-gagasan yang dimilikinya, dan ihwal hubungannya sebagai manusia dengan manusia lain. Bukan melulu soal rangkaian peristiwa yang ditandai oleh teks tanggal sekian dan tahun sekian.
'Kartini' bila dibandingkan dengan sejumlah film biografi lain, baik yang disutradarai Hanung maupun sineas lain, sepintas tampak seperti film yang jauh lebih sederhana dengan plot dan cerita yang sederhana.
Namun, sesungguhnya perkara membuat film konon memang sederhana. Tetapi membuat film sederhana adalah perkara lain, bukan pekerjaan gampang, terlebih di Indonesia yang masih kekurangan penulis-penulis skenario handal.
Hanung adalah satu dari sedikit sutradara yang paling produktif dan konsisten membuat film. Tak hanya menyutradarai, ia pun kerap ikut menulis naskah film yang dibesutnya. Dalam 'Kartini' ia berbagi kredit menulis naskah bersama Bagus Bramanti ('Mencari Hilal', 'Dear Nathan').
Tulisan mereka berdualah yang membuat 'Kartini' tampil begitu menawan. Berhasil mengisahkan Kartini sebagai manusia, bukan sebagai tokoh hasil rumusan peristiwa demi peristiwa. Baru kali ini, melalui film garapan ke-26, bolehlah Hanung disebut salah satu dari sutradara hebat Indonesia.
Semua pemain dalam 'Kartini' bermain apik. Dengan kemampuan akting yang mumpuni, mereka memang termasuk dalam jajaran aktor dan aktris terbaik dalam khasanah perfilman kontemporer Indonesia.
Yang membuat mereka menjadi jauh lebih bersinar ketimbang penampilan-penampilan sebelumnya, adalah naskah skenario dan penyutradraan yang diberikan hingga kita menyaksikan gelaran film, salah satu yang terbaik yang saya tonton tahun ini, bahkan dalam satu dekade terakhir.
Setelah menghasilkan 26 film dalam kurun waktu 13 tahun semenjak debutnya dalam 'Brownies' (2004), 'Kartini' adalah pijakan, langkah selanjutnya bagi Hanung Bramantyo untuk konsisten membuat film dengan nilai estetika dan craftsmanship setidak-tidaknya mesti selevel dengan apa yang telah ia capai lewat film ini.
'Kartini' telah membawa genre film biografi ke level yang jauh lebih tinggi, dan tampaknya akan sulit tertandingi.
Shandy Gasella, Pengamat film (nu2/nu2)