Cerita kemudian berbalik menjadi tragedi ketika kenyataan tak seperti harapan. Kehidupan yang kerap dipamerkan lewat layar kecil digital nyatanya tak sepenuhnya indah, seperti gambar mereka bagikan lewat keterhubungan status-status media sosial. Ada kisah terselubung di balik itu, ada perjuangan hebat seorang calon bapak untuk keluarganya, ada kekonyolan-kekonyolan yang terjadi di sepanjang film, hingga kemudian tak lupa juga ditutup dengan drama manis tentang sebuah penghargaan akan pentingnya kehadiran seorang buah hati.
Film dibuka dengan keriuhan seluruh penjuru kota di mana setiap individu menggunakan media sosialnya masing-masing, mengomentari banyak hal. Salah satu manusia dari keriuhan itu adalah Alam (Chicco Jerikho), seorang suami, calon bapak, selebtwit, blogger, pemilik penerbitan buku indie, dan ia juga punya follower sebanyak 48 ribu di Twitter. Alam sedang mengantarkan istrinya, Mia (Lala Karmela) menuju persalinan di sebuah rumah sakit, menembus kemacetan Jakarta. Sayangnya, sebagai calon bapak, Alam lebih sibuk menaruh perhatian pada gadgetnya daripada istrinya yang sedang hamil tua menunggu proses bukaan. Sebagai selebtwit, ia juga digambarkan rajin kultwit, twitwar sana-sini hingga diancam somasi, selain tentu saja pamer-pamer rutin lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekonyolan-kekonyolan terjadi saat Alam akhiirnya pergi mencari bantuan untuk biaya persalinam sang istri. Ditambah dengan kehadiran keluarga besar yang menjenguk ke rumah sakit, membuat Alam semakin bersikeras membuktikan ke semua orang bahwa dirinya mampu. Namun, egonya jutru membuatnya kewalahan. Alih-alih memberikan yang terbaik, Alam justru mungkin malah terancam kehilangan segalanya, termasuk istri dan calon anaknya.
Kisah Alam dan keluarga kecilnya adalah salah satu fakta dari sisi lain realitas hidup di era sosmed masa kini. Hidup yang serba butuh pengakuan dan pujian, dan hanya diukur melalui sebuah 'like' dan comment. Angga Sasongko berhasil menangkap realita itu dengan sangat menyenangkan, ditambah dengan visual digitalnya yang sengaja ia bikin hidup. Awalnya, adegan hanya menunjukkan keluhan demi keluhan yang terpusat pada tokoh utamanya, namun ternyata potongan-potongan adegan konyol itu cukup berarti dan pada akhirnya berujung manis. Angga juga berhasil memanfaatkan sudut-sudut lokasi rumah sakit yang kecil, menjadi seperti panggung bagi para tokoh-tokohnya menyampaikan misi cerita mereka masing-masing.
Melalui Salman Aristo, naskah 'Bukaan 8' ditulis dengan baik. Dialog-dialog yang ditampilkan kebanyakan adalah sindiran yang dibalut dengan komedi segar, kadang seperti sedikit berusaha untuk terdengar bijak. Sindiran-sindiran yang dilontarkan tak lepas dari gaya hidup orang millenial yang berusaha keras menampilkan citra lain dirinya, semuanya yang serba difoto untuk laporan terkini di media sosial, pejabat yang parkir sembarangan, kritik caleg yang khotbah di masjid, hingga tentang menggunakan hashtag tertentu untuk menarik perhatian, seperti #jumatberkah.
Semua serba-serbi kritik kehidupan millenial di film ini menambah kaya cerita, namun di sisi lain menjadikan film ini terkesan lebih kuat pada porsi komedi dan sindirannya, dan kurang menggali sisi emosi dramanya. Elemen drama hanya berputar pada pengulangan-pengulangan, bagaimana Alam mendapatkan sebuah solusi cepat. Untunglah, di akhir film, klimaks emosinya tetap terasa —terima kasih untuk lagu dari Payung Teduh berjudul 'Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan' yang menambah nyawa di akhir cerita.
Aktor yang mencuri perhatian di film ini justru adalah Sarah Sechan; dia seperti bintangnya, bahkan sejak pertama kemunculannya, panggung komedi seperti sengaja dibuka untuknya dan hanya miliknya. Chicco Jerikho dan Lala Karmela juga memberikan chemistry yang baik sebagai pasangan suami-istri. Dayu Wiyanto meski karakternya tak begitu menonjol, tapi kehadirannya tetap berarti memberi porsi penyeimbang yang berkesan.
Menonton 'Bukaan 8' pada akhirnya tak sekedar menyaksikan sebuah penggalan hidup dari pasangan muda yang sedang menanti kehadiran bayi pertamanya, bersama keluarga besarnya yang penuh tuntutan, bersama kehidupan millenial yang haus akan perhatian, bersama kekonyolan-kekonyolan yang menyertainya. Namun, lebih dari itu, film ini juga menunjukkan sisi sensitifnya, sebuah penghargaan pada hidup, ketika seorang pria berhasil sampai pada masanya, menjadi seorang ayah untuk buah hatinya kelak.
Masyaril Ahmad penggemar film
(mmu/mmu)