'Istirahatlah Kata-kata': Kisah Simbolik Sang Penyair Pemberani

'Istirahatlah Kata-kata': Kisah Simbolik Sang Penyair Pemberani

Masyaril Ahmad - detikHot
Selasa, 24 Jan 2017 15:06 WIB
Foto: Muara dan Limaenam Films
Jakarta - Seorang petugas aparat menanyakan keberadaan sang penyair Wiji Thukul kepada anak gadis kecilnya yang sedang dirangkul erat oleh ibunya. Si petugas mencecar pertanyaan dengan nada datar dalam Bahasa Jawa, "Kapan bapak pulang? Apa bapak suka membelikan buku? Apa bapak juga suka membelikan boneka?" Anak kecil itu hanya terdiam; kamera menyorot gambar dia dan ibunya dari belakang. Dalam kesunyian itu kita bisa ikut merasakan kerinduan si anak meski dalam diam, ketika kemudian si petugas tiba-tiba menyeletuk, "Cah kendel (anak berani)!"

Begitulah pembukaan film 'Istirahatlah Kata-kata' karya sutradara Yosep Anggi Noen, dibuat dengan sangat menyentuh dari sudut pandang lain Wiji Thukul sebagai bapak, suami, penyair dan aktivis. Film ini telah bergerilya di berbagai festival di dunia, salah satunya pernah menggema di Festival Film Locarno di Swiss, membawa napas keberanian sang penyair pejuang demokrasi itu.

Melalui teks-teks di layar dan potongan suara pembaca berita di televisi, kemudian penonton diajak kembali melihat sejarah kelam saat itu, masa ketika para pejuang pro demokrasi dituduh menjadi dalang kerusuhan di Jakarta pada Juli 1996. Hal itu kemudian membuat banyak orang diburu dan ditangkap hingga membuat sang penyair Wiji Thukul ikut menjadi buron, dan lari ke Pontianak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diproduksi secara kolektif antara lain oleh Muara Foundation dan Limaenam Films, 'Istirahatlah Kata-kata' membawa kita hanyut melihat sisi melankolis sang penyair, dalam untaian kata-katanya yang berani, tak meledak-ledak tapi di lubuk yang terdalam juga menyimpan kecemasan dan ketakutan, tentang dirinya dan orang-orang terdekatnya.

Wiji Thukul (diperankan Gunawan Maryanto) lari ke Pontinak, meninggalkan anak dan istrinya, setelah berpindah-pindah dalam persembunyiannya, dari Solo hingga Jakarta, dan bertemu dengan orang-orang tulus yang mau menolongnya. Dalam pelariannya ia bertemu dengan masyarakat biasa, mahasiswa, hingga tentara yang semuanya mempunyai arti dan bermakna simbolik pada setiap pertemuan itu. Dalam kecemasannya saat di pelarian, puisi Thukul tetap terdengar lantang, getir dan jelas dalam mengkritik ketidakadilan penguasa pemerintahan Orde Baru saat itu.

Di solo, kita melihat kesederhanaan dan ketegaran Sipon, istri Wiji Thukul (diperankan Marissa Anita) yang hidup tak kalah dilingkupi oleh rasa cemas dan takut. Dua anak Wiji Thukul yang masih kecil saat itu sering menyaksikan perlakuan sewenang-wenang aparat; rumah mereka digeledah dan buku-buku disita. Seringkali ibu mereka juga digelandang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan perihal keberadaan sang ayah.

Di dapur sederhana, sambil mendengar suara kepulan air mendidih, Sipon menahan kerinduannya, menyiulkan senandung lagu (atau doa?) untuk sang suami yang berada nun jauh dalam pelarian sebagai menjadi buron rezim pemerintah. Kita melihat, dalam kemiskinan dan kecemasannya, Sipon berbagi sikat gigi dengan tetangganya, dan tak mampu beli shampoo. Di sisi lain, ia juga tegar mengajari anaknya untuk baca tulis, sambil sesekali tak menyalakan lilin sebagai penerang ketika mati lampu.

Di Pontianak, Thukul sedang dalam persembunyiannya sebagai buron. Kita diperlihatkan adegan Thukul berpindah dari rumah ke rumah, juga saat Thukul dan teman-temannya makan nasi bungkus, kemudian salah satu temannya melontarkan pertanyaan ironis, "Mas, kenapa Anda masuk daftar, apa hanya karena puisi-puisi?" Lalu, dijawab oleh Thukul, bahwa rezim ini bangsat, takut dengan kata-kata. Setelah itu sepanjang film kita akan mendengar lantunan puisi bernada kritis-lantang namun indah dari Wiji Thukul sebagai pengantar narasi cerita.

Dalam pelarian ini kita juga melihat banyak adegan dan dialog simbolik penuh kritik. Seperti saat mati lampu yang mungkin menandakan kegelapan sejarah pada masa itu, suara tangisan bayi yang menandakan kerinduannya kepada keluarga, hinggal soal KTP dan pistol.

Seperti karya sebelumnya, 'Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya' (2012), 'Istirahatlah Kata-kata' dibuat dengan gaya kontemplatif khas Yosep Anggi Noen. Gaya Yosep selalu membuat kita merenungi setiap makna melalui gambar-gambar sunyi yang ia tangkap. Di 'Istirahatlah Kata-kata' Yosep berhasil membuat semua sudut gambar terlihat artistik. Hal-hal sepele seperti dapur, kamar-kamar pelarian kumuh yang dihiasi bungkus rokok dan pesawat TV rongsok, hingga pertokoan dan tempat tukang cukur, semua tertangkap indah memanjakan mata penonton.

Alur cerita dibuat pelan, memperlihatkan dua sisi dunia antara kehidupan Thukul di tempat persembunyian dengan teman-temannya, dan kehidupan sederhana istrinya di rumahnya di Solo, di antara para tetangganya. Kekuatan utama film ini ada pada Gunawan Maryanto yang berhasil dengan sangat baik membawakan puisi Wiji Thukul dengan sangat hidup, dengan suara "pelo"-nya, terdengar dalam, menyakitkan dan getir.

Mendengarkan Gunawan Maryanto berpuisi seolah seperti habis melakukan ritual semedi yang panjang dan penuh makna. Marissa Anita sebagai Sipon juga tak kalah mencuri perhatian, memerankan sosok Sipon dengan sangat baik, membawa kita hanyut dalam kecemasannya, kesederhanaannya, dan ketabahannya sebagai istri seorang penyair yang dimusuhi negara.

Di akhir film kita akan dibuat merinding oleh lantunan puisi Wiji Thukul berjudul 'Bunga dan Tembok' yang telah diubah menjadi sebuah lagu yang sangat merdu, dinyanyikan oleh anaknya sendiri, Fajar Merah dengan kelompoknya Merah Bercerita, berduet dengan Cholil 'Efek Rumah Kaca'. Lantunan iramanya yang melow membuat kita merasa ikut rindu dengan Wiji Thukul, sekaligus membuat kita ikut bersemangat dan berani, karena puisi-puisinya akan selalu abadi diingat oleh kita, di setiap generasi.

Masyaril Ahmad penggemar film





(mmu/mmu)

Hide Ads