'Doctor Strange': Pertaruhan Marvel yang Gemilang

'Doctor Strange': Pertaruhan Marvel yang Gemilang

Candra Aditya - detikHot
Kamis, 27 Okt 2016 16:25 WIB
Foto: IMDB
Jakarta - Pahlawan Marvel paling baru, 'Doctor Strange', memang masih termasuk generik. Tidak ada kata-kata makian kotor seperti yang dilakukan Deadpool untuk menerbangkan filmnya ke puncak box office. Tidak ada kekerasan berlebihan seperti adaptasi Mark Millar—'Wanted', 'Kick-Ass'. Tapi, setidaknya, 'Doctor Strange' berusaha keras untuk menjauhkan dirinya dari karya Marvel lainnya. Dan kadang, dalam beberapa bagian, usahanya berhasil.

Benedict Cumberbatch yang kini begitu populer bermain dengan sungguh apik sebagai dokter neurosurgeon paling top bernama Stephen Strange. Ingatannya tok-cer dan keahliannya membuatnya bisa menikmati apartemen indah dengan pemandangan New York yang spektakuler. Namun kemudian bencana terjadi. Strange kecelakaan dan dia harus menghadapi kenyataan bahwa tangannya tak bisa lagi kembali seperti semula.

Strange yang tahu benar bahwa tangannya adalah segala-galanya, berusaha keras untuk mengembalikan kejayaannya dengan meminta untuk melakukan berbagai macam operasi. Usahanya gagal tentu saja. Tangannya tidak bisa kembali seperti semula. Kemudian dia mendapatkan info seorang lelaki yang lumpuh yang akhirnya bisa kembali berjalan. Rahasianya? Meditasi di sebuah tempat bernama Kamar-Taj.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan receh-receh terakhirnya Strange pergi ke Kamar-Taj. Di sana dia menemukan bahwa dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan jika dia mau membuka sedikit pemikirannya. Ancient One (Tilda Swinton, memerankan karakter yang begitu datar dengan kualitas yang hanya bisa dilakukan oleh aktor sekeren dirinya) memperlihatkan apa yang bisa Strange kuasai jika dia bisa menolak semua pemikiran kolotnya selama ini. Dengan itulah Strange akhirnya memutuskan untuk berlatih hanya untuk menemukan bahwa dunia, waktu dan dimensi adalah hal yang bisa diutak-atik asalkan tahu cara memanipulasinya.

'Doctor Strange' masih dengan problematika khas Marvel. Babak ketiganya begitu gampang ditebak—tentu saja si pahlawan "harus" menyelamatkan dunia yang akan kiamat. Tokoh antagonisnya tidak dibuat secara tiga dimensi walaupun mereka sudah menyewa Mads Mikkelsen sebagai penjahatnya. Love interest-nya terasa seperti bumbu yang harus ada—walaupun Rachel McAdams melakukan kerjanya dengan lebih baik daripada Natalie Portman di 'Thor'. Dan, tokoh Strange sendiri sebenarnya tidak ada bedanya dengan Tony Stark: keduanya tinggal di Manhattan, kaya raya dan mempunyai cara yang menarik untuk mengemukakan pendapat. Bedanya Strange adalah seorang ahli bedah sementara Stark adalah ilmuwan canggih.

Meskipun begitu, usaha Scott Derrickson dan C. Robert Cargill sebagai penulis skrip untuk menjelaskan hal-hal yang njelimet menjadi sederhana boleh diacungi jempol. Kisah-kisah awal superhero memang selalu menarik jika mereka mempunyai kepribadian yang jelas—'Iron Man' pertama atau 'Guardians of the Galaxy'. 'Doctor Strange' juga tidak ada bedanya.

Tapi, yang paling membuat film ini sangatlah berkesan adalah perwujudan visualnya. Derrickson, dibantu dengan sinematografer Ben Davis, berhasil menciptakan visual yang sangat megah. Visualnya jauh lebih menantang daripada semua filmografi Marvel saat ini; bisa dibilang salah satu visual film komersial paling megah tahun ini. Begitu mentereng dan menghasilkan action sequence yang akan membuat Anda terpana.

Michael Giacchino sebagai komposer juga akhirnya berhasil mempersembahkan komposisi scoring yang bernyawa. Ini bukan sekedar musik jeng-jeng-jeng untuk membuat Anda merasakan sesuatu yang di-direct oleh pembuatnya. Musik Giacchino tidak hanya mempunyai kepribadian namun juga menambah nyawa keanehan dari dunia 'Doctor Strange'.

Hasil akhirnya adalah gambling yang dilakukan Marvel untuk membuat 'Doctor Strange' terbayar. Film ini mungkin masih berdosa karena Marvel masih melakukan formula yang aman, tapi paling tidak film ini berani untuk keluar dari zona amannya. Seperti yang kata Ancient One bilang, "Bayangkan sebuah dunia dimana semua kemungkinan bisa terjadi." Dan, itulah yang terjadi dengan film ini.

Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.



(mmu/mmu)

Hide Ads