Di luar dugaan, film ini sungguhlah menawan, sebuah film musikal coming of age dengan visual mempesona dan cerita yang menghangatkan. Saya senyum-senyum sumringah selepas menyaksikannya. Betul-betul film yang menyenangkan.
Iqbal (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, 'CJR the Movie'), anak kelas 11 yang setengah nakal setengah baik yang nilai matematikanya jeblok, ingin membuktikan kepada orang-orang terdekatnya bahwa dia bisa juga berprestasi. Caranya, dengan mencalonkan diri menjadi ketua OSIS menggantikan Kiki (Teuku Ryzki, 'CJR the Movie') yang baru saja menyudahi masa jabatannya. Aldi (Alvaro Maldini, 'CJR the Movie'), teman ngeband-nya, berpikir bahwa menjadi ketua OSIS adalah satu hal yang tak penting untuk dilakukan. Bahkan, keluarga pun menertawakan Iqbal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hubungan mereka di film ini berkembang sedemikian rupa, digerakkan oleh plot dan bangunan karakter mereka masing-masing yang ditulis dengan begitu apik oleh duet Haqi Achmad ('Radio Galau FM', 'This is Cinta') dan Patrick Effendy. Hingga ketika hubungan benci antara mereka lantas menjadi cinta, kita dapat melihat perubahan itu terjadi dengan wajar, dan amat beralasan.
Film ini begitu kompak, plot yang utuh, cerita yang padat, disisipi subplot yang benar-benar memiliki fungsi sebab-akibat yang jelas. Begitu banyak karakter, namun masing-masing mendapatkan porsi yang seimbang, hadir dengan dialog-dialog yang asik, cerdas tanpa terkesan berusaha ingin terdengar cerdas. Ditambah, disisipi pula dengan lagu-lagu, yang dibawakan oleh banyak karakter tersebut, dan semua elemen ini menyatu dengan pas. Sutradara Patrick Effendy layak untuk diapresiasi secara lebih, sebab film remaja kontemporer Indonesia berhasil dibuat dengan seasik ini.
Ketiga personel CJR tampil jauh lebih matang di film ini, berhasil meyakinkan kita bahwa mereka bukanlah para penyanyi cilik lagi. Hampir semua yang tampil di film ini memperlihatkan akting terbaik mereka. Tora Sudiro ('Quickie Express', 'Warkop DKI Reborn') sebagai Babeh Iqbal tampil ngocol, mengesankan, dan membumi. Pendatang baru si cantik Caitlin Halderman juga tampil bak superstar yang sudah lama bermain film; kemampuan akting, pesona dan daya tariknya berhasil menghidupkan perannya hingga menjadi sosok yang kita cintai. Cut Keke sebagai Enyak Iqbal, Wulan Guritno sebagai Ibunda Ayla, dan Ikang Fawzi sebagai ayah Kiki juga tampil sama mengesankannya. Karakter-karakter mereka, betatapun kecil, tak terpisahkan dari cerita. Bila tak ada mereka, niscaya film ini bakal terasa tak utuh.
Hampir tak ada hal yang tak saya sukai di film ini. Penata kamera Dicky R Maland ('Ngenest', 'Sunshine Becomes You') memberikan usaha terbaiknya dalam membingkai frame demi frame; shot-shot yang dihasilkannya cantik, ngepop, dan sinematik. Aline Jusria ('I Am Hope', 'Kapan Kawin?') mengedit film ini dengan penuh ketangkasan dan rasa hingga membuatnya enak diikuti. Tata suara film ini juga tampil sama baiknya. Saya suka suara yang hadir tatkala Kiki menyanyi secara live dengan gitarnya di teras depan rumahnya. Namun ketika lagu-lagu lain hadir lewat lipsync pun, tata suaranya tak kalah cermat. Bahkan sejumlah dialog hasil dubbing di film ini tidak pernah terdengar mengganggu. 'Ada Cinta di SMA' adalah salah satu film terbaik tahun ini, film musikal terbaik tahun ini, dan menjadi satu dari sedikit film yang saya tonton dua kali di bioskop. Ada cinta di film ini.
Shandy Gasella pengamat perfilman (mmu/mmu)