Film ‘3 Srikandi’, yang telah diketahui secara luas mengisahkan tim panahan putri dalam mencetak sejarah medali pertama bagi Indonesia di Olympiade, dibuka dengan latar belakang peristiswa politik dunia. Dekade 70 akan berakhir. Rusia menyerang Afghanistan, dan memicu reaksi keras negara-negara lain. Olympiade Moskow 1980 jadi sasaran: banyak negara memboikot termasuk Indonesia! Donald Pandiangan pun meradang! Siapa dia? Jago panahan yang yang telah berjaya di tingkat Asia, dan siapa mengharumkan nama Indonesia di Moskow. Namun, kebijakan luar negeri pemerintah mengandaskan mimpinya. Ia mengamuk di hadapan wartawan, lalu menghilang bersama kekecewaannya yang mendalam.
Kronik itu menjadi pijakan alur debut film panjang karya sutradara Iman Brotoseno ini. Waktu berlalu. Delapan tahun kemudian, Indonesia siap mengirimkan tim panahannya ke Olympiade Seoul. Donald Pandiangan kembali dicari, untuk melatih tim yang diseleksi dari seluruh Indonesia. Penonton pun diperkenalkan dengan sosok nyentrik yang keras hati, sedang mabuk di bar murahan. Sehari-harinya ternyata ia membuka bengkel. Tidak mudah membujuknya untuk kembali. Tunggu saja sampai ada sebuah titik balik di mana dia akan melangkahkan kaki dengan sendirinya.
Donald diperankan oleh Reza Rahadian dalam penampilan rambut gondrong tebal belah pinggir dan cara berbicara yang selalu meledak-ledak. Bersamaan dengan itu, dengan tangkas dan tanpa bertele-tele, kamera menyorot satu per satu kehidupan 3 Srikandi kita, yang akan mengharumkan nama bangsa itu. Yana (Bunga Citra Lestari) diperkenalkan sebagai mahasiswa tingkat akhir yang kegiatannya di panahan tak mendapat restu ayahnya (Joshua Pandelaki), karena skripsinya jadi terbengkalai. Kusuma (Tara Basro), gadis Makassar (dulu Ujung Pandang) yang digadang-gadang oleh orangtuanya untuk jadi PNS, harus memilih antara memenuhi harapan orangtua atau tetap berangkat ke Jakarta ikut seleksi pelatnas. Sedangkan Lilies, puteri dari seorang veteran atlet panahan (Ivanka Suwandi), relatif tak punya masalah berkaitan dengan cita-citanya terpilih masuk tim Olympiade. Masalah yang harus dihadapinya justru hubungan asmaranya yang tak direstui, karena sang ibu sudah punya calon menantu pilihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika asmara nekad antara Lilies dan kekasihnya makin memburuk, Kusuma justru tengah berbunga-bunga karena didekati oleh pelatih tim putera. Sementara, pada satu titik, kita akan melihat sisi lain dari Donal ketika latihan tengah libur. Lilies dan Kusuma pulang, sementara Yana tetap tinggal di tempat latihan karena “males” ketemu bapaknya. Donald pun mengajak Yana untuk mengunjungi seorang bibi yang amat menyayanginya. Tanpa adegan-adegan yang bombastis dan berlebihan, film ini berhasil “mempermainkan” emosi penonton dengan kejutan-kejutan kecil yang terkadang manis, kadang menyedihkan.
Puncaknya, tentu saja, adalah drama lapangan. Sang sutradara menghadirkan pertandingan panahan di Olympiade Seoul 1988 dengan sederhana, tapi cukup detail dan meyakinkan. Ada laporan pandangan mata dari penyiar TVRI yang sangat khas, dan selalu menjadi “pertunjukan” tersendiri dalam siaran-siaran olahraga di televisi.
Sebagai film tentang kisah (sukses) sebuah tim olahraga, ‘3 Srikandi’ tidak membebani penonton dengan adegan-adegan teknis yang intens dan membosankan. Untuk menyiasatinya, film ini lebih banyak menggali kehidupan pribadi tokoh-tokohnya, relasi dan interaksi antarmereka, hingga perkembangan dan hasil dari interaksi-interaksi itu. Tak jarang, kita diajak untuk menyelami perasaan-perasaan mereka. Atmosfer 80-an hadir antara lain lewat sejumlah lagu yang menjadi hits kala itu, dan juga tata artistik yang ciamik. Ini adalah sebuah pertunjukan yang komplit: penuh warna, manis, menghibur dan mudah disukai oleh siapapun. (mmu/mmu)