Kamera mengikuti pergerakan si tokoh dari jarak dekat, menguntitnya dari belakang dalam satu kali take pengambilan gambar yang begitu dinamis. Hingga kita kemudian mendapati dia berdiri di muka pintu rumah lalu kamera tilt up untuk menunjukkan wajahnya kepada kita. Begitulah cara sutradara memperkenalkan Aisyah (Laudya Cynthia Bella, 'Talak 3', 'Surga yang Tak Dirindukan') kepada penonton. Dan, film baru lima menit berjalan, saya sudah langsung jatuh cinta!
Latar belakang cerita dibangun secara efektif dalam 15 menit awal, dan tersampaikan dengan meyakinkan. Kita mengetahui Aisyah baru lulus sarjana, bapaknya telah lama meninggal, kini ia tinggal bersama ibu dan adik cowoknya, sedang menjalani HSGJB, PASN? (hubungan status gak jelas bok, pacaran apa saudaraan nih?) bersama si Aa (Ge Pamungkas), dan bercita-cita menjadi seorang guru. Kesempatan mewujudkan cita-citanya itu datang pas pada saat ia sedang kesal dengan si Aa, maka merajuklah ia kepada ibunya agar ikhlas melepasnya pergi mengajar di tempat nun jauh di sana, di pelosok kampung di Nusa Tenggara Timur (NTT).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas pada akhirnya ketika Aisyah mesti meninggalakan rumah, perpisahan di antara keduanya meninggalkan kesan yang begitu emosional. Pun perpisahan antara dirinya dan si Aa juga memberi dampak yang sama. Bukan tanpa sebab film ini dibuka oleh gambar-gambar yang menyegarkan mata (pemandangan Ciwidey), juga oleh cerita hubungan-hubungan karakter yang penuh keriangan dan kehangatan. Sebab, ketika lokasi film berpindah ke NTT, kita sama-sama dapat merasakan betul apa yang dihadapi Aisyah kemudian. Kontras sekali.
Konflik muncul ketika Aisyah sampai di NTT, di Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara. Rupanya tugas mengajar anak kelas 5 SD di sebuah sekolah reyot di sana tak semudah yang ia kira. Ada penolakan dan sekelumit drama yang mesti ia hadapi. Kita pernah menyaksikan film yang serupa namun tak sama semisal 'Laskar Pelangi', atau 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku’. Namun, 'Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara' ini mampu memberi rasa dan kesan yang sama sekali berbeda dalam caranya yang baik.
Alur kisah film ini mengalir dengan begitu terjaga, dipenuhi dialog-dialog yang bagus, disampaikan lewat bahasa gambar yang menakjubkan hasil bidikan penata kamera Edi Michael ('Bidan Lelaki', '9 Naga’). Dan, ini yang paling utama, film ini tampil begitu baik lantaran dipenuhi para pemain yang luar biasa tampil mengesankan. Tak terlihat sedikit pun penampilan yang artificial. Laudya Cynthia Bella, Lydia Kandou, hingga para pemain lokal seperti pemeran Mama Dusun, Kepala Dusun, anak-anak, semua tampil wajar. Bahkan cuma di film ini kita dapat melihat bahwa komika Arie Keriting ('Comic 8') pun ternyata bisa berakting juga.
Belakangan saya mengetahui, konon, para pemeran lokal di film ini berdialog dalam aksen Papua, sebagian dalam aksen Kupang. Padahal setting film ini adalah Timor Tengah Utara. Orang-orang yang berkomentar seperti ini mungkin lupa bahwa Leonidas dari Sparta dalam film '300' diperankan oleh Gerard Butler, orang Skotlandia yang berbicara dalam logat Skotlandia di film berlatar Yunani. Orang-orang ini lupa bahwa hampir sebagian besar film Amerika diisi oleh para pemain berkebangsaan Inggris dan Australia yang berdialog bukan dalam aksen Amerika asli. Mengkritisi logat para pemain lokal dalam film ini sama saja dengan mengkritisi semua film Hollywood yang pernah kita tonton.
'Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara’…duh, sebenarnya saya kurang sreg dengan pilihan judul film ini; terdengar kaku dan sangat formal. Sebaiknya diganti dengan judul yang lebih catchy misalnya 'Aisyah' saja, tanpa embel-embel 'Biarkan Kami Bersaudara'. Film ini tentu tampil bukan tanpa cela, dan satu-satunya cela yang amat mengganggu saya adalah scoring film bikinan Tya Subiakto ('Cinta Selamanya', 'Mentari Dari Kurau') yang nggak nyantai. Ada adegan yang terlihat sudah begitu kuat dalam bahasa gambarnya, namun ketika scoring masuk; menggelegar, over the top dengan volume maksimal, meruntuhkan adegan yang semestinya bakal tampil jauh lebih emosional bila scoring-nya nyantai, tidak mengagetkan dan bikin jantungan, misalnya pada adegan menjenguk Lordis Defam, dan adegan penutup film.
'Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara' adalah jenis film yang baik secara kualitas namun tak diimbangi strategi pemasaran yang mumpuni. Sayang rasanya film sebaik ini tak dilirik penonton. Ini adalah film ketiga besutan Herwin Novanto setelah ‘Jagad X Code’ dan ‘Tanah Surga... Katanya’. Selain lebih berisi dan lebih sinematis ketimbang film-film tentang travelling yang lagi ngetren, film ini juga menawarkan cerita, bahasa gambar, unjuk kebolehan akting kelas tinggi, dan sudah barang tentu pesona travelling-nya sendiri yang magis. Tonton saja, dan buktikan sendiri.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)