Di awal film ada sekelebat adegan pembunuhan; sesosok pria tewas dibunuh di sebuah kamar hotel, pelakunya terlihat seperti sesosok wanita mengenakan high-heels. Cut to: kantor kepolisian, Briptu Dewi (Prisia Nasution, 'Sang Penari') ditugasi atasannya untuk mengusut tuntas pembunuhan tersebut. Ia diberi petunjuk bahwa pelakunya kemungkinan ada di antara daftar 10 wanita yang diundang secara rahasia untuk mengikuti "pesantren kilat" di Pesantren Impian yang lokasinya tak bisa diketahui oleh sembarang orang.
Di antara 10 nama wanita yang ada dalam daftar, Briptu Dewi menyamar sebagai Eni, salah seorang calon santriwati. Lalu, bagaimana atasan Briptu Dewi mengetahui petunjuknya, dan dari mana ia mendapatkan daftar undangan yang sifatnya rahasia itu? Kita tak diberi tahu, dan saya pada mulanya mengira bahwa itu memang menjadi bagian dari misteri yang pada akhirnya nanti akan terungkap. Namun, benarkah demikian?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pesantren Impian mengundang 10 santriwati yang memiliki latar belakang tercela, di antaranya ada model yang terlibat prostitusi online, pecandu narkoba, ada pula yang sedang hamil di luar nikah. Jagoan kita, Briptu Dewi sendiri, merupakan orang tercela dalam sudut pandang agama; ia tak pernah salat, dan tak berhijab. Mereka diundang ke Pesantren Impian seperti Harry Potter diundang ke Hogwarts. Gus Budiman menyatakan bahwa pihaknya mengetahui serta mengawasi secara seksama kehidupan orang-orang "bejat" itu, dan hendak memberikan kesempatan kedua kepada mereka untuk bertobat melalui "pesantren kilat" di tempatnya. Bagaimana cara Gus Budiman menguntit, eh, mengetahui latar belakang para calon santriwatinya? Lagi-lagi kita tak diberitahu. Mungkin saja ia anggota Badan Intelijen Amerika yang sedang menyamar, atau bisa jadi dia si psikopat Jigsaw dari film 'Saw' yang sedang menyamar jadi ustad tua renta dan berpura-pura lumpuh.
Apapun tebakan Anda, barangkali justru jauh lebih menarik ketimbang cerita yang ingin ditawarkan film ini. Besutan Ifa Isfansyah ('Sang Penari', 'Pendekar Tongkat Emas') ini diangkat dari novel thriller-reliji berjudul sama karya penulis terkenal Asma Nadia ('Surga yang Tak Dirindukan', 'Emak Ingin Naik Haji'). (Menonton) 'Pesantren Impian' terasa seperti bermain tebak-tebakan, "Apa nama hewan yang diawali dengan hurup A" dengan seorang anak SMP, yang tentu sudah pandai membaca. Ketika si anak menjawab "Kelinci", kita hanya bisa menduga apakah ia tengah bercanda atau memang sebodoh itu?
Bila (mau) menilai film ini berdasarkan keunikannya, yakni penggabungan dua genre, sebenarnya tak usahlah berbicara thriller, genre reliji sendiri sesungguhnya sudah unik bukan main; cuma ada dan sangat ngetren di Indonesia. Kini genre unik ini dikawinkan dengan thriller, di atas kertas mestinya menarik. Tapi, duh, Gusti! Boro-boro memberikan pengalaman menonton yang mendebarkan, film yang diproduseri oleh Hanung Bramantyo dan Karan Mahtani ini justru hadir sebagai salah satu lelucon besar yang pernah terjadi dalam sejarah perfilman kontemporer.
Film ini gagal di setiap aspek; ceritanya amburadul --hasil jerih payah penulis naskah Alim Sudio ('Surga yang Tak Dirindukan', 'Viva JKT48') dan Salim Bachmid ini tak ada logika-dalam, plot hole di sana-sini, pengadeganan yang tak cermat. Sutradara juga gagal membangun thrill; tak ada satu adegan pun yang mampu membuat penonton ikut merasakan teror yang dialami karakter dalam film.
Tak ada, bagaimana pun juga, yang dapat memperbaiki film ini dari keniscayaan koherensi narasi. Saya memiliki gagasan kolot bahwa salah satu kegunaan editing adalah untuk membuat jelas mengapa satu adegan diikuti oleh adegan lain, atau mengapa sejumlah adegan terjadi dalam satu rangkaian tertentu. Editing film ini malah menambah kusut jalinan plot yang sudah amburadul. Sudah begitu, dalam usahanya menghadirkan teror, film ini tak punya malu dengan bergantung pada musik bikinan Krisna Purna ('Talak 3', 'Siti') yang kali ini aransemennya berada pada kategori KBA. Kalau Berhenti Alhamdulillah.
Sutradara Ifa Isfansyah pernah berhasil menggarap film secemerlang 'Sang Penari'. Ia juga produser di balik film 'Siti' yang tempo hari dianugerahi Piala Citra sebagai film terbaik. Jelas, ia bukan jenis sineas karbitan. Tapi, kali ini, ah saya hampir saja lupa; ternyata sebelumnya ia pernah kedodoran juga ketika menggarap 'Pendekar Tongkat Emas'. Dan, kali ini ia kembali tak bisa menolong dirinya sendiri.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)