'A Copy of My Mind': Segelas Espresso Joko Anwar

'A Copy of My Mind': Segelas Espresso Joko Anwar

Shandy Gasella - detikHot
Senin, 15 Feb 2016 14:22 WIB
Jakarta - "Udah ada calonnya?" tanya seorang ibu-ibu di sebuah salon kecantikan murah kepada Sari (Tara Basro, 'The Right One', 'Pendekar Tongkat Emas'), pegawai salon, yang sedang melakukan facial terhadapnya. Sari sambil tersipu menjawab, "Ya kalo bisa sendiri mah sendiri aja, Mbak." Mendengar jawaban santai dari Sari, si ibu pelanggan masih lanjut bertanya, "Emang nyarinya yang kayak gimana?" Sambil memijat-mijat wajah si ibu yang merem-melek, Sari menimpali pendek saja. "Gak nyari yang kayak gimana-gimana."

Dan, obrolan ngalor-ngidul antara pelanggan dengan pegawai salon ini masih panjang. Itu pun belum semuanya. Di sebelah Sari masih ada dua orang pegawai lain yang juga sedang melakukan hal yang sama terhadap pelanggan masing-masing. Itulah ritual “nine to five” yang dijalani Sari di Salon Yelo tempatnya bekerja. Bila jam kerjanya telah usai, ia berjalan-jalan ke lapak DVD bajakan demi mencari satu-dua judul film untuk dibawanya pulang.

"Ini teksnya (terjemajan bahasa Indonesia) bagus enggak?" tanya Sari (seperti kebanyakan dari kita di kehidupan nyata) kepada penjual DVD bajakan sebelum memutuskan untuk membeli. Lalu, saat ia merasa sudah menemukan judul yang disuka, ia pun pulang dengan menaiki metromini menuju kamar kos petakan 3x3 meternya. Dan, hari-harinya ia akhiri dengan menyantap mie rebus instan sambil menonton film lewat DVD player dan TV tabung 14 inchi buatan Cina yang ia letakkan di atas meja di kamarnya. Sari nampak asik-asik saja menjalani hidupnya, dan ia hanya akan “bete” bilamana film dalam kepingan DVD yang ia beli tak memiliki teks terjemahan bahasa Indonesia yang memadai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tempat yang terpisah, ada Alek (diperankan oleh Chicco Jerikho dengan potongan rambut gondrong 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku'), freelancer pembuat teks terjemahan bagi sindikat produsen DVD bajakan. Hidupnya sedikit lebih baik dari Sari --setidaknya secara ekonomi. Ia tinggal di kamar kosan yang sedikit lebih luas. Kelak, Alek-lah si biang keladi yang merusak mood Sari manakala ia membeli film dengan teks bahasa Indonesia yang amburadul.

Ya, Sari dan Alek lantas bertemu. Dua orang yang awalnya saling asing ini, seiring waktu, kian dekat dan kian menyatu. Kita menyaksikan hubungan keduanya tumbuh, dan mau tak mau kita pun ikut terbawa bahagia melihat mereka saling mencintai dengan begitu dalam. Siapa yang tak “mberebes mili” dan tersentuh hatinya manakala menyaksikan dua sejoli yang sedang asik merayakan cinta berduaan di dalam kamar kos tak ber-AC ini misalnya? Alih-alih mengeluh kegerahan, keduanya justru saling tatap dengan binar-binar bahagia di raut wajah, dan bilur-bilur keringat keluar di sekujur tubuh mereka. Sulutan api cinta yang membuncah dalam "adegan springbed" antara Sari dan Alek tak membuat kita kegerahan melihatnya; lewat tangan Joko Anwar adegan tersebut justru jadi terasa hangat dan (walau ini terdengar aneh) menyejukkan hati.

Sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, Joko Anwar ('Kala', 'Pintu Terlarang') berhasil memperkenalkan kedua tokoh utama kita lewat separuh awal durasi film dengan begitu mengalir dalam tempo yang terjaga. Introduksi karakter adalah satu hal, namun meyakinkan penonton agar peduli terhadap nasib yang dialami karakter di dalam sebuah film adalah hal lain, dan itu pun berhasil dipenuhi Joko dengan paripurna. Tak jarang, untuk urusan satu ini, kebanyakan pembuat film gagal memenuhinya.

Film kelima arahan Joko ini memang tampil lain dibandingkan film-film sebelumnya. Bukan lantaran film ini merupakan film berbiaya termurah yang pernah dibuatnya, namun lebih kepada bagaimana caranya mengemas film ini. Bagi sebagian orang, menonton film yang diproduseri oleh Tia Hasibuan ('Fiksi.', 'Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta') dan Uwie Balfas ini konon terasa seperti menonton film dokumenter; gambar yang goyang-goyang lantaran sinematografer Ical Tanjung ('About a Woman', 'Belenggu') menggunakan kamera secara handheld. Ditambah, keberadaan figuran non-aktor yang begitu banyaknya di film ini namun membaur begitu baik dengan aktor-aktor dalam set yang nyata, sehingga membangun realisme yang tampak seperti dunia yang kita tinggali; Sari dan Alek dalam film ini tampak seperti tetangga kita, atau malah justru seperti sebagian dari kita --warga kelas bawah ibukota.

Saya menggambarkan 'A Copy of My Mind' secara sederhana sebagai film yang "ngayogyes" (disadari atau tidak oleh pembuatnya). Pendekatan gaya sinematis khas film(maker) Jogja kontemporer seperti film-film bikinan Yosep Anggi Noen ('Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya', 'Kisah Cinta yang Asu’), tentu saja minus dialog dalam bahasa Jawa. Tapi, kita tetap dapat menjumpai “tanda tangan” Joko Anwar berseliweran di sana-sini. Salah satu contoh adegan Alek selepas ditinggal Pak Ronny (Ronny P. Tjandra, 'Badoet') yang memberinya setumpuk DVD porno untuk ditambahi teks terjemahan. Alek kemudian melepas celananya bersiap-siap masturbasi, namun ketika videonya diputar ia mendapati adegan seks sesama lelaki, ia pun hanya mampu ngedumel, "Taik!” Dan, kita yang menonton tertawa, betapa “meta”-nya adegan itu. Dan, itu Joko banget.

Bila 'Janji Joni' adalah film tentang pseudo-romansa, maka 'A Copy of My Mind' adalah film tentang romansa yang paling utuh dari Joko. Sub-plot soal intrik politik di film ini hanyalah sajian pelengkap, elemen thriller yang tak seberapa namun hadir sebatas sebagai plot device yang mengantarkan nasib kedua tokoh utama kita kepada bagian akhir film yang tak terelakkan. Cerita cinta adalah jantung film ini, dan Joko menyampaikannya kepada kita bak menyajikan segelas espresso kopi Bourbon; pahit-getir, namun bagi pemilik indera pengecap yang lebih sensitif, itu tak sekedar pahit-getir. Ada cita rasa manis yang menyatu dengannya; ia bukan manis tambahan, namun menyatu, tak terpisah, tak terelakkan. Dan, seperti sehabis menyesap segelas espresso kopi Bourbon, selepas menyaksikan film ini saya mendapatkan after taste yang bakal lama sekali tinggal, dan memori rasa itu bakal kekal, terekam di dalam angan.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads