Dalam versi “zombie” ini, Elizabeth Bennet (Lily James setelah melepas sepatu kaca ‘Cinderella’-nya tahun lalu) masih merupakan anak kedua dari Keluarga Bennett yang miskin. Hanya saja kali ini para saudara Bennett diajari ayah mereka bela diri supaya bisa selamat dari serangan zombie. Jane Bennet (Bella Heathcone) masih merupakan yang paling cantik dan sopan yang tentu saja masih ditaksir oleh Mr. Bingley (Douglas Booth). Dan, Elizabeth Bennett juga masih terlibat hubungan “benci tapi rindu” dengan Mr. Darcy (Sam Riley).
Adalah penulis buku Seth Grahame-Smith yang mendapatkan inspirasi untuk mencampurkan dua hal yang tidak berhubungan ini ke dalam sebuah novel yang sama. Salah satu bukunya, ‘Abraham Lincoln: The Vampire Hunter’ juga mempunyai benang merah yang sama. Dua hal yang saling bertolak belakang dipaksa nongkrong menjadi satu. Untungnya, tidak seperti nasib “Vampire Hunter”, yang hasil adaptasi layar lebarnya berantakan, ‘Pride and Prejudice and Zombies’ masih bisa dinikmati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
‘Pride and Prejudice and Zombies’ menjadi tontonan yang cukup menyegarkan. Matt Smith, salah satu pemeran di serial ‘Doctor Who’ yang terkenal, mendapatkan jatah untuk mempertontonkan momen komediknya dengan pantas sebagai Mr. Collins. Apapun yang dia lakukan sepanjang film sudah pasti akan membuat Anda tertawa.
Tapi keberhasilan Steers tidak berhenti sampai di momen lucunya. Meskipun tetap serius dengan serangan zombie, inti dari film ini adalah kisah cintanya. Itulah sebabnya Seth Grahame-Smith memasukkan nama Jane Austen sebagai co-writer bukunya. Film ini ternyata cukup berhasil untuk membuat penonton peduli terhadap kisah cintanya. Terutama hubungan antara Elizabeth Bennet dengan Mr. Darcy. Lily James dan Sam Riley sebagai pemerannya menjalankan mandat Steers dengan baik. Anda akan tetap termehek-mehek dengan kisah cinta mereka meskipun sudah mengetahui jalan ceritanya.
Yang mungkin bisa menjadi catatan, film ini tidak seseram yang Anda bayangkan. Bagi penggemar film horor, film ini sama sekali tidak menawarkan momen menegangkan yang biasanya ditawarkan oleh film-film sejenis. Steers masih bergantung pada sound design yang mengagetkan dan jump scares untuk membuat penonton terlonjak dari kursi. Rating yang sengaja dibuat untuk penonton remaja jelas membuat adegan-adegan sadis yang biasanya nongol di film berlabel “zombie” menjadi hilang di ruang editing.
Film ini memang konyol dan tidak perlu. Tapi sebagai sebuah tontonan pelepas lelah, ini jelas lebih dari layak untuk direkomendasikan. Steers berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh Timur Bektambetov dalam Abraham Lincoln: Vampire Hunter’ sebelumnya. Mungkin dengan kesuksesan ini kita bisa melihat ‘Sense and Sensibilty and Sea Monsters di layar lebar dalam waktu dekat.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)