Edith Cushing (Mia Wasikowska) memasuki Allerdale Hall, rumah suaminya, Thomas Sharpe (Tom Hiddleston) dengan harapan bisa menutup luka hatinya setelah sang ayah (Jim Beaver) meninggal dunia. Edith mengganti kehidupan sosialita New York dengan sebuah kastil tua yang secara harfiah benar-benar melolong, menangis dan berdarah.
Setiap malam rumah tersebut selalu berbunyi karena embusan angin yang kencang. Tanpa atap, salju dan dedaunan selalu menghiasi ruang tamu seperti masa lalu yang tercemar. Dan, lantai yang rapuh menunjukkan bahwa rumah tersebut akan segera tenggelam dalam lumpur dengan warna merah darah menyala.
Tapi, Edith tidak peduli. Dia hanya peduli untuk membuka lembaran baru dan hidup bahagia bersama Thomas. Itu yang dia pikir. Sosok-sosok melayang di udara berwarna merah kerap menemuinya di tengah malam. Belum lagi keanehan saudara suaminya, Lucille Sharpe (Jessica Chastain), yang tidak membiarkan Edith untuk memiliki satu pun kunci. Pada akhirnya, ketika Edith menemukan satu per satu jawaban atas misteri rumah tersebut, waktu sudah terlambat baginya untuk pergi dan menyelamatkan nyawanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada satu pun frame yang terlihat cacat. Semuanya didekor dengan sempurna. Desain produksi, kostum, efek, dan pergerakan kamera semuanya ditata dengan presisi yang hanya bisa dilakukan oleh seorang maestro visual yang canggih. Hasilnya begitu melenakan. Selama 120 menit, ‘Crimson Peak’ benar-benar memanjakan mata. Kontras warna merah dan kegelapan menjadi melodi yang benar-benar syahdu.
Kemudian kesalahpahaman terjadi. Bagi Anda yang mengharapkan ‘Crimson Peak’ sebagai sebuah film horor murni—yang sesuai dengan marketingnya—maka Anda akan siap-siap untuk kecewa. Film ini tidak menawarkan kejutan meledak seperti yang ada di dalam film-film James Wan atau produksi Jason Blum. Guillermo del Toro memang memberikan beberapa adegan penggedor jantung yang dibalut dalam CGI yang cantik. Namun, hal itu sebenarnya adalah pengalihan fokus.
Ditulis bersama-sama dengan Matthew Robbins, ‘Crimson Peak’ sebenarnya adalah sebuah kisah cinta yang kebetulan memang melibatkan hantu dan darah. Edith membuka filmnya dengan kata-kata, “Ini yang aku tahu: hantu itu ada,” tapi begitu Anda sampai di perjalanan akhir film, ‘Crimson Peak’ akan menunjukkan bahwa tragedi kisah cintalah yang paling horor dalam rumah tersebut. Agak kuno dan terlalu Harlequin?
Dengan visual yang mempesona, apapun kesan yang muncul bisa dimaafkan. Yang mungkin di luar harapan adalah kenyataan bahwa del Toro tak memberikan satu pun hal yang “out of the box” dalam filmnya kali ini. ‘Pan’s Labyrinth’ membuktikan bahwa del Toro bisa mengemas dongeng menjadi mimpi buruk yang elok. Sedangkan, ‘Crimson Peak’ secara plot dan twist tidak menawarkan hal baru. Anda bisa menebak apapun misteri yang disimpan Sharpe Bersaudara begitu mereka memasuki frame berdua.
Untungnya, film ini didukung oleh penampilan yang pas dari ketiga aktor utamanya, terutama Chastain yang kebagian peran untuk menjadi gila. ‘Crimson Peak’ bukanlah film yang buruk. Kalau Anda mengharapkan horor yang mencekam, film ini memang tak memberikannya. Namun, bagi pecinta visual Guillermo del Toro dan sebuah kisah cinta gothic yang tragis, ‘Crimson Peak’ adalah satu-satunya tahun ini.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)