'Everest': Tragedi Nyata di Puncak Tertinggi Dunia

'Everest': Tragedi Nyata di Puncak Tertinggi Dunia

Candra Aditya - detikHot
Jumat, 18 Sep 2015 16:12 WIB
Jakarta - Kalau ‘5 CM’ sudah membuat Anda ingin naik gunung, ‘Everest’ akan membuat Anda ingin lompat dari kursi. Film arahan sutradara Baltasar Kormakur ini menceritakan tragedi nyata yang terjadi di Everest pada 1996.

Ditulis oleh William Nicholson dan penulis ‘Slumdog Millionaire’ Simon Beaufoy, ‘Everest’ berfokus pada pemimpin regu Rob Hall (Jason Clarke, setelah selesai mengejar Schwarzenegger dalam ‘Terminator Genysis') yang memandu timnya untuk sampai di puncak Himalaya. Di antara anak buahnya adalah Beck Weathers (Josh Brolin) dan Doug Hansen (John Hawkes) yang paling mencuri perhatian. Jika Beck Weathers adalah seorang dokter berdarah Texas yang “ngototan”, maka Doug Hansen tukang pos yang berusaha keras sampai di puncak untuk usahanya yang kedua.

Semuanya berjalan dengan normal pada awalnya. Hall sudah berjanji kepada istrinya (Keira Knightley) untuk pulang sebelum kelahiran anak mereka. Persaingan dengan Scott Fisher (Jake Gyllenhaal), sesama guide Everest tidak membuat hubungan pertemanan mereka rusak. Dan, anak buah Hall termasuk orang-orang yang solid. Sampai akhirnya tiba di puncak dan badai menerjang mereka. Kini mereka hanya bisa bertahan dan berdoa agar Tuhan menyelamatkan mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Duo Nicholson dan Beaufoy membagi ‘Everest’ ke dalam dua bagian. Bagian pertaman berjalan lambat, memaksa kita untuk mengenal satu per satu karakternya. Tidak hanya karakter manusianya tapi juga gunung itu sendiri. Everest mempunyai kesukaran yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Selama satu jam kita menjadi lebih terikat dengan karakter-karakternya, dan berharap agar si gunung menjadi lebih baik hati kepada para pendaki itu.

Pada bagian kedua, giliran kita ‘menikmati’ penderitaan nasib yang terpaksa dihadapi oleh karakter-karakter yang sudah telanjur kita sayangi. Adegan-adegan ketika orang yang mereka kasihi menunggu, baik di basecamp (Emily Watson berperan sebagai mother figure di basecamp) maupun di rumah, membuat hati kita semakin berdebar setiap kali angin bertiup kencang.

Sayangnya, meskipun Kormakur diberkahi dengan pilihan cast yang luar biasa berbakat, ‘Everest’ berakhir dengan nada minor, dan bukannya entakan gegap gempita. Faktor “berdasarkan kisah nyata” bisa jadi salah satu alasan film ini jadi kurang nendang di bagian ending. Dibandingkan dengan ‘127 Hours’, film ini terasa seperti bingung mau memberikan ending yang seperti apa. Tidak ada yang spesial jika dibandingkan film-film tragedi kisah nyata yang pernah ada sebelumnya.

Namun, pada akhirnya meskipun Clarke dan Knightley memberikan chemistry yang menyengat walaupun hanya tampil sekali di awal film, ‘Everest’ bukanlah film yang berfokus pada emosi. Film ini lebih terfokus kepada pengalamannya. Film ini memberikan petualangan adrenalin kepada penonton. Meskipun Anda diam di kursi, gambar dari Salvatore Totino akan membuat Anda merasa seperti sedang naik gunung beneran bersama Rob Hall dan kawan-kawan. Pergerakan kameranya mewah dan benar-benar didesain agar penonton bisa ikut merasakan berbabagi sensasi naik Everest.

Tak hanya itu, desain suara dan pewarnaan filmnya akan membuat Anda merasakan kedinginan seperti yang dirasakan para pendaki. Ini adalah sebuah pengalaman penonton yang cukup memorable. Filmnya mungkin tidak memenuhi kepuasan Anda, seperti yang dijanjikan trailer dan promosinya. Namun, jika Anda ingin menyaksikan sebuah kisah luar biasa tentang orang-orang berdedikasi dalam sebuah film yang secara visual sangat megah, ‘Everest’ adalah film yang Anda cari. Siapkan jaket karena perjalanan kali ini akan sangat menggigilkan.

Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.

(mmu/mmu)

Hide Ads