Di pengujung 1948 terjadi agresi militer ke-2 yang dilancarkan oleh Belanda. Mereka mengincar Yogyakarta yang kala itu berstatus sebagai ibukota negara. Suasana genting dan mencekam. Bung Karno (Baim Wong, ’Ketika Bung di Ende’) dan Hatta (Nugie) meminta Soedirman (Adipati Dolken, ’Adriana’, ’Sang Kiai’) agar berlindung di kraton sultan bersama mereka dan segenap pemimpin politik lainnya. Namun, Soedirman menolak. Ia beserta anak buah dan dokter pribadinya memilih untuk masuk ke hutan, memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan lamanya.
Film ini berfokus pada periode tersebut. Sepanjang 126 menit, kita diajak mengintil ke mana pun Soedirman "blusukan" dari satu hutan ke hutan lain. Soedirman, seperti kita tahu, merupakan tokoh pahlawan besar Indonesia. Hampir setiap kota di negeri ini memiliki namanya sebagai nama jalan, dan tentu reputasinya sebagai tentara sekaligus ahli strategi perang amat disanjung oleh segenap bangsa. Bahkan ada cerita-cerita selentingan yang disampaikan secara turun temurun dalam masyarakat kita, bahwa Soedirman sakti mandraguna. Ia sedang sakit bengek kronis ketika bergerilya bersama pasukannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di negara tempat kita dilahirkan ini, sejarah belum menjadi ilmu kebenaran; ia masih samar seperti kabut di pagi hari yang menghalang-halangi sinar mentari untuk memberi terang. Di Bumi Pertiwi ini, sejarah, gosip, mitos, hal-hal mistis, dan klenik terkadang bercampur aduk ikut menjabarkan kebenaran menjadi fakta yang fiktif. Saya tak keberatan bila film ini sengaja menggambarkan Soedirman dan pasukannya yang berjumlah sedikit lebih banyak dari total anggota boyband Super Junior itu sebagai tentara-tentara yang melarikan diri dari kejaran musuh. Memang siapa yang tahu pasti siasat apa yang dimiliki Soedirman kala itu? Toh melarikan diri dari musuh karena kalah jumlah adalah hal yang masuk akal.
Pembuat film ini sah-sah saja menginterpretasikan peristiwa sejarah yang diangkatnya sesuai dengan keyakinannya sendiri, toh selama ini film-film sejarah kita dibuat dengan cara demikian. Lihatlah film ’G 30 S/PKI’ misalnya. Kita boleh berdebat sampai mulut berbusa soal kesahihan fakta sejarah yang diangkatnya, tapi kita tak bisa berdebat bahwa di luar urusan itu, secara teknis, penulisan, dan penggarapan, film itu sungguh-sungguh ditangani dengan baik. Sutradara Viva Westi juga menangani film ini dengan baik. Saya tak bermaksud menyebut film ’Jenderal Soedirman’ selevel dengan film ’G 30 S/PKI’, namun setidak-tidaknya Viva Westi berusaha membuatnya dengan kesungguhan dan craftmentship di atas rata-rata sineas Tanah Air lainnya akhir-akhir ini.
Film ’Guru Bangsa: Tjokroaminoto’ garapan Garin Nugroho dibuat dengan production value yang tinggi, namun terlalu bertele-tele dalam menyampaikan kisahnya, dan tak “merakyat”. Ibarat musik, Garin terlalu nge-jazz dan kebarat-baratan --padahal ia bercerita soal kehidupan pribumi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal. Viva tak bertele-tele dan pretensius; naskah yang ia tulis bareng Tubagus Deddy (’Mursala’) padat, penuh elemen kejut, rancak dari awal hingga akhir. Ada elemen thriller di awal, lalu ada komedi, drama, aksi, dan tragedi. Komplit. Viva mengeksekusi film ini dengan cara yang cekatan, membuat film ini tampil sinematis. Walaupun masih ada kekurangan pada beberapa bagian efek khusus, namun tak sampai mengganggu tampilan film ini secara keseluruhan.
Saya suka bagaimana pembuat film ini menghadirkan adegan demi adegan petualangan Soedirman dan pasukannya di dalam hutan menjadi seru tak membosankan, padahal setting-nya hutan melulu. Selalu ada saja bagian-bagian hutan yang menarik dan berbeda yang ditampilkan dalam shot-shot ala kartu pos yang tak hanya sekadar indah, melainkan ikut menguatkan konteks cerita.
Di tangan orang yang salah, kisah Soedirman bisa menjadi petaka ketika diterjemahkan ke dalam bahasa film, andaikan misalnya si pembuat film genit mengeksplorasi elemen-elemen mistis tentang sepak terjang Soedirman, seperti misalnya cerita (rakyat) ketika Soedirman dan pasukannya tiba di desa Bajulan. Mereka beristirahat di rumah penduduk, seketika lewat pesawat-pesawat tempur musuh mengitari desa. Pendukuk ketakutan luar biasa, namun konon Soedirman hanya cukup mengeluarkan kerisnya dan komat-kamit membaca doa, maka selamatlah mereka semua.
Ada juga cerita lain soal Soedirman dan pasukannya ketika bersembunyi di rumah penduduk di suatu desa yang mereka lewati, dan mereka tersudut di rumah tersebut, dikepung oleh ratusan tentara Belanda. Sekali lagi mereka selamat berkat Soedirman yang mengeluarkan keris saktinya sambil membaca doa, hingga konon ketika para pasukan Belanda menyergap masuk ke rumah, mereka tak dapat menemukan Soedirman beserta pasukannya sebab mereka menjadi hilang dari pandangan musuh! Coba, apa jadinya bila kisah ini yang diangkat ke dalam film? Nah, pembuat film ini memiliki versinya sendiri terhadap cerita mistis tersebut, dan berhasil menerjamahkannya jadi adegan menegangkan penuh teror sekaligus masuk akal.
Adipati Dolken pada mulanya terlihat terbebani memerankan sosok Jenderal Soedirman. Ia tampak berusaha keras, namun seiring film berjalan aktingnya semakin baik dan menyatu dengan karakter yang diperankannya. Ini merupakan penampilan terbaiknya sepanjang kariernya bermain film. Selain Adipati, hampir seluruh pemeran pendukung film ini bermain sama apiknya, terlebih Gogot Suryanto (’Kapan Kawin?’, ’Soegija’) sebagai Karsani yang di setiap kemunculannya selalu mengesankan, dan Ibnu Jamil (’Hari Ini Pasti Menang’) sebagai Kapten Tjokropranolo. Kehadiran Gogot di film ini membawa ruh tersendiri, dan tanpanya bisa jadi film ini bakal berakhir lain.
Pada akhirnya, penghargaan Anda terhadap film ini memang akan sangat tergantung pada apakah Anda bisa menerima ceritanya. Saya sih bisa. Ini adalah film yang sangat layak untuk ditonton di antara film-film Indonesia lainnya yang tengah tayang di bioskop.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(ich/ich)