'Gangster': Semua Atas Kehendak Tuhan

'Gangster': Semua Atas Kehendak Tuhan

Shandy Gasella - detikHot
Selasa, 01 Sep 2015 07:30 WIB
Jakarta - Jamroni (Hamish Daud, ’Love You…Love You Not’) adalah cowok ganteng bertampang bule yang tinggal di sebuah kampung di kaki gunung Merapi, Yogyakarta. Ia seorang jago kelahi lantaran sedari kecil sudah mempelajari ilmu beladiri secara otodidak lewat buku ilustrasi gerakan-gerakan jurus ala film-film kungfu tahun 70-an. Dengan bekal keterampilan itu, misinya kini adalah menjaga Sari (versi cilik diperankan Avrilla Sigarlaki; versi dewasa oleh aktris favorit sutradara film ini -- Eriska Rein, ’Cinta Brontosaurus’) sang pujaan hatinya dari segala marabahaya yang mengancam di dunia ini. Hidup di daerah gunung Merapi nampaknya keras, dan sedikit lebih kejam dari kehidupan ibukota. Setidaknya itu yang tergambarkan lewat film garapan sutradara terkenal Fajar Nugros (’Adriana’, ’7/24’) ini.

Di awal film kita melihat Jamroni berduel dengan seorang juragan sapi (diperankan oleh aktor lawas Dede Yusuf) lantaran ia dituduh mencuri sapi. Padahal selain ganteng, Jamroni pemuda saleh baik hati yang senantiasa menegakkan keadilan di atas muka bumi ini. Atas dasar itu saya menyangsikan motivasi perkelahian antara dirinya dengan si juragan sapi, sebab sebagai sesama warga satu kampung aneh rasanya bila mereka tak saling kenal, apalagi tak saling tahu reputasi masing-masing. Alasan di balik pemukulan yang dilakukan si juragan sapi terhadap Jamroni rasanya terlalu berlebihan dan mengada-ada, seolah-olah Jamroni itu maling dari kampung lain yang ketangkap basah, padahal ia masih warga satu kampung.

Setelah adegan kelahi yang mengada-ada tadi, Jamroni lantas dihadapkan pada kenyataan yang bakal memulai plot film ini berjalan; yaitu kematian ayahnya yang mendadak. Dan, tepat di akhir hayatnya, terungkap siapa jati diri Jamroni yang sesungguhnya, bahwa ia bukanlah anak kandung dari ayahnya yang selama ini membesarkannya. Pada saat malaikat maut hendak mencabut nyawanya, sang ayah mengungkapkan pula bahwa selama ini Sari sering mengirimkan surat-surat cinta untuk Jamroni, namun ia tutup-tutupi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, apakah alasan di balik itu semua? Sayangnya tak terungkap, sebab penulis naskah film ini sudah telanjur menghabisi riwayatnya. Maka berangkatlah Jamroni ke Jakarta demi mencari orangtua kandungnya, sekaligus menemukan kembali api cintanya yang telah lama hilang.

Setibanya di Jakarta, Jamroni membuat masalah dengan sekelompok preman yang lantas membuatnya jadi incaran untuk dihajar ramai-ramai. Terjadilah kejar-kejaran maut penuh adrenalin. Kemudian tak disengaja, atau mungkin sudah takdir Tuhan, Jamroni ditabrak mobil yang dikemudikan oleh Retta (Nina Kozok), cewek kece berlogat bule yang amat ramah sekaligus jauh dari buruk sangka terhadap orang asing. Mereka pun kemudian langsung akrab.

Retta sedang dalam pelarian menghindari ayahnya, Hastomo (Agus kuncoro, ’Sang Kiai’, ’Gending Sriwijaya’), yang hendak mengawinkannya dengan adik seorang ketua gangster berbahaya bernama Amsar (Dwi Sasono, ’Rectoverso’, ’Jakarta Hati’). Nah, ternyata oh ternyata, sekelompok preman yang mengejar Jamroni tempo hari adalah anak buah si Amsar itu. Jamroni kemudian melindungi Retta dan mencoba menyembunyikannya dari incaran ayahnya sendiri, sekaligus dari anak buah Amsar yang mati-matian berusaha menangkap mereka berdua.

Amsar naik pitam terhadap Hastomo yang menunda-nunda pertemuan Retta dengan adiknya. Jamroni dan Retta semakin terdesak manakala Amsar mengirim para pembunuh bayaran untuk menangkap mereka; ada cowok cool berilmu silat tinggi (diperankan oleh Ganindra Bimo), dan Jangkung (Yayan Ruhian, ’The Raid’), pembunuh bayaran yang jauh lebih sakti lagi.

Di tengah kemelut tersebut, berhasilkah Jamroni menemukan kedua orangtua kandungnya? Dan apakah ia bakal bertemu kembali dengan Sari, cewek pujaannya yang selama ini selalu mengisi relung hatinya itu?

Ternyata, Hastomo sang ayahanda Retta tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung Jamroni juga! Ups! Maaf, saya keceplosan membocorkan twist besar film ini. Dan, ternyata pada saat istri Hastomo (diperankan Dominique Sanda dari sinetron lawas ’Tuyul dan Mbak Yul’) melahirkan Jamroni di rumah sakit, seketika itu Jamroni dibawa lari oleh orang tak dikenal. Namun, nasib malang yang menimpa Jamroni ini pada akhirnya berbuah manis juga. Ia ternyata anak orang kaya di ibukota, dan Sari yang selama ini dicarinya, lagi-lagi atas seizin Tuhan, pada akhirnya muncul sendiri secara tiba-tiba, entah datang dari arah penjuru mata angin mana. Maaf, lagi-lagi saya keceplosan!

Tentu saja keceplosan saya itu disengaja, dan diniatkan sebagai lelucon yang saya sadari betul bakal terdengar tak lucu. Nah, kira-kira seperti itulah film ini, selalu berusaha melucu, namun seringkali guyonan-guyonannya terlontar tidak pada momen yang semestinya. Misalnya pada adegan Bu Guru yang nyawanya terancam hampir tertabrak mobil, bukannya marah atau panik, ia malah melucu dengan genit. Di dunia ciptaan Fajar Nugros, seperti juga dalam sejumlah film lain garapannya, hal-hal yang berlawanan dengan akal sehat seperti itu memang lumrah saja terjadi.

Tak ada logika yang mendasari jalan cerita film ini, dan skenario tulisan Jujur Prananto begitu acakadutnya. Kalaupun ada hal yang masih bisa dinikmati dari film ini, itu lantaran hasil jerih payah dari Padri Nadeak (’Mika’, ’Cinta/Mati’) sang penata kamera yang berhasil, untuk pertama kalinya, membuat film garapan Fajar Nugros jadi terlihat sinematis. Ini tak pernah terjadi di sejumlah karya Nugros yang sudah-sudah.

Untuk gelaran adegan kelahi, tak ada hal baru yang ditawarkan Nugros. Malah, ia terbilang mundur jauh ke belakang ke era film action tahun 80-an di mana shot-shot pertarungan tampil jadi lumayan asik lantaran dibantu oleh editing yang mumpuni; bukan hasil koreografi apalagi pengarahan sutradara.

Para pemain sebenarnya memberikan penampilan yang bisa diterima (Dwi Sasono dan Agus Kuncoro terutama) tapi sayangnya karakter-karakter mereka tidak terasa meyakinkan. Nugros membuat film ini dengan cara yang terlampau sering ia lakukan: low taste dan over gaya.

Di tangan Nugros, “plot hole” bisa menjadi “plot lake” -- cerita berlubang sebesar lingkaran toilet bisa menjadi sebesar danau. Jadi, orangtua angkat Jamroni pada 20-30 tahun lalu datang ke Jakarta dari gunung Merapi sengaja untuk menculik Jamroni yang baru saja dilahirkan? Atau, ia membelinya, tentu dengan harga yang tak murah, dari sindikat perdagangan bayi? Wallahu a'lam bishawab.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Hide Ads