Alkisah, ada seorang bocah kecil yang sangat bersemangat bernama Frank Walker (Thomas Robinson, begitu menggemaskan) yang hanya menginginkan benda kreasinya menjadi inspirasi orang. Dia tidak peduli kalau misalnya barang yang dia ciptakan tidak berjalan dengan sempurna. Yang penting adalah idenya. Semangatnya ini membuat seorang gadis kecil bernama Athena (Raffey Cassidy, definisi berbakat) kepincut dan mengundangnya ke sebuah dunia bernama Tomorrowland.
Tomorrowland seperti sebuah dunia alternatif yang sepertinya semuanya bisa terjadi. Tidak ada politisi korup atau bahkan demo mahasiswa yang brutal. Manusia-manusianya tinggal dalam harmoni. Bangunan-bangunannya fantastis. Dan terutama, barang-barang canggih yang berada di impian Frank paling liar sepertinya ada disana. Frank pun betah.
Loncat beberapa tahun kemudian kita bertemu dengan seorang gadis bersemangat yang penuh dengan api menyala-nyala bernama Casey (Britt Robertson, magnetik). Seperti halnya Frank muda, Casey memiliki rasa optimisme yang menular. Bedanya, Casey memiliki jiwa nekat yang akhirnya membawa dia ke sel tahanan. Dan saat dia harus pergi, Casey menemukan sebuah pin yang asing. Saat menyentuhnya, Casey melihat sesuatu menakjubkan yang belum pernah lihat sebelumnya: sebuah dunia dimana semuanya yang mustahil sepertinya bisa terjadi.
Pin tersebut akhirnya membawa Casey kepada Frank dewasa (George Clooney, tetap adorable seperti biasanya) yang jauh lebih skeptis dan sinis daripada versi dia ketika muda. Tentu saja, pertemuan Casey kepada Frank hanyalah awal terhadap sebuah misi besar yang menanti mereka.
Dibandingkan dengan seri 'Pirates of Caribbean', film ini memang jauh lebih ramah lingkungan. 'Tomorrowland' mengingatkan kita terhadap film-film Disney zaman dahulu yang penuh dengan pesan moral, suasana yang menyenangkan, kekeluargaan yang harmonis dan petualangan seru penuh dengan pelajaran. Jauh berbeda dengan serial yang dibintangi Jack Sparrow yang jauh lebih edgy. Itulah sebabnya film ini bisa dengan mudah menjadi tontonan seluruh keluarga.
Namun, hal tersebut menjadi pisau dua arah. Kesederhanaan yang disajikan oleh Lindelof dan Bird justru kurang bisa mengangkat Tomorrowland menjadi tontonan yang luar biasa. Memang benar, topik soal krisis kepercayaan dan bagaimana semua orang di era modern menjadi lebih skeptis adalah topik yang asyik. Namun film ini kurang bisa disandingkan dengan film Brad Bird lain seperti 'The Incredibles' atau bahkan 'Ratatouille' yang mempunyai makna yang mendalam meskipun tampilannnya begitu sederhana.
Belum lagi plot ceritanya yang tertatih-tatih ketika Bird sampai di babak ketiga. Pilihan Lindelof dan Bird sebagai penulis skrip untuk membawa 'Tomorrowland' menjadi sebuah film ringan adalah pilihan yang bagus. Namun begitu keduanya menggelar masalah utama di babak ketiga yang begitu ruwet, film ini menjadi kehilangan ritme. Film yang tadinya sangat family-friendly—bahkan adegan action-nya pun sangat komikal—menjadi berubah jadi membingungkan.
Tapi, memang tidak bisa dipungkiri bahwa Brad Bird, setelah diospek oleh Tom Cruise dalam 'Mission Impossible: Ghost Protocol', semakin menunjukkan kemampuannya dalam bidang visual. Dibantu dengan tangan dingin Claudio Miranda, Brad Bird menampilkan visual yang fenomenal. 'Tomorrowland' akan membuat Anda ingin tinggal disana atau paling tidak ingin berkunjung ke wahana aslinya.
Film ini memang belum bisa menandingi kedigdayaan film-film musim panas lain; dengan mudah bisa dilibas oleh Furiosa dalam 'Mad Max: Fury Road'. Namun jika Anda ingin menyaksikan film menyenangkan, menghibur dan penuh dengan pesan moral khas Disney yang bisa ditonton oleh seluruh keluarga, tidak ada pilihan yang lebih tepat selain bergabung dengan George Clooney menjadi ilmuwan di Tommorrowland.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)