Film 'Tjokroaminoto': Zaman Baru Telah Lahir, Bagong!

Film 'Tjokroaminoto': Zaman Baru Telah Lahir, Bagong!

Is Mujiarso - detikHot
Jumat, 10 Apr 2015 13:36 WIB
Jakarta - Gadis itu datang dan pergi begitu saja, seperti yang biasa kita lihat dalam film-film karya Garin Nugroho sebelumnya. Tapi, ia tak semisterius gadis-gadis yang ada di 'Aku Ingin Menciummu Sekali Saja' atau 'Under The Tree'. Sejak awal kita tahu, dia seorang pemilik sebuah toko buku. Tapi, setelah tigaperempat film berdurasi 3 jam ini, kita baru tahu namanya: Stella.

Kita tahu namanya setelah Bagong memanggilnya. Stella memang bersahabat dengan Bagong. Tapi, tunggu dulu! Bagong? Dalam film biopik tentang seorang pahlawan bangsa pelopor nasionalisme di Hindia Timur awal abad ke-20? Anda memang tak salah lihat, itu Bagong, sepersis-persisnya yang biasa Anda lihat di pewayangan. Bedanya, Bagong yang ini ke mana-mana membawa tongkat imut berkepala bintang layaknya seorang ibu peri.

Seperti halnya Stella yang sesekali berkeliling menjajakan surat kabar, Bagong juga seorang pembawa kabar. Sebenarnya ia pemain orkes stamboel. Tapi, di zaman yang tak menentu, di mana kerap terjadi kerusuhan, orkesnya jadi terganggu untuk manggung. Di zaman seperti itulah, di Surabaya kota modern pusat kegiatan politik dan perdagangan Hindia Belanda memasuki dekade 1920-an, Tjokroaminoto muncul. Ia digadang-gadang sebagai satrio piningit, raja tanpa mahkota, pembawa harapan baru akan sebuah pemerintahan sendiri yang merdeka.

Stella termasuk yang sangat antusias menyambut kehadiran Tjokro, yang dalam waktu singkat berhasil mendirikan Sarekat Islam --sebagai kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam-nya Samanhudi di Surakarta yang dibekukan pemerintah kolonial-- dan membuka cabang-cabang di seluruh Hindia. "Zaman baru telah lahir, Bagong!" serunya kepada sahabatnya dengan penuh binar pengharapan.

Kekaguman dan besarnya harapan itu membuat Stella berkali-kali mengejar dan mencegat Tjokro hanya untuk bertanya ini dan itu berkaitan dengan perkembangan politik di Hindia. Stella dan Bagong bukan satu-satunya tokoh "fiktif" di film berjudul lengkap 'Guru Bangsa Tjokroaminoto' ini. Masih ada Cindil, seorang pedagang kursi dan tukang kayu, juga Mbok Tun, pembantu di wisma tempat Tjokro dan murid-muridnya mondok. Bila kemunculan Stella dan Bagong senantiasa membawa suasana sedih dan muram, maka sebaliknya dengan Cindil dan Mbok Tun, yang menjadi sumber gelak tawa bagi penonton film ini.

Sama halnya dengan Stella, Cindil juga muncul dan menghilang begitu saja. Suatu kali, bisa saja ia tiba-tiba nongol di arena rapat Sarekat Islam yang tengah berdebat panas. Siapa dia sebenarnya? Siapa pula Stella itu? Bagi yang akrab dengan film-film Garin Nugroho tentunya tak akan merasa asing dengan tokoh-tokoh seperti ini. Sebelumnya, kita juga pernah menyaksikannya dalam 'Soegija'. Kabar baiknya, bila dalam 'Soegija' tokoh-tokoh "fiktif" terjatuh menjadi absurd dan terasa hanya sebagai tempelan, maka dalam 'Tjokroaminoto' dengan lembut mereka begitu menyatu dalam arus utama alur cerita.

Lihat misalnya bagaimana dengan cerdik tokoh Cindil, juga Stella, pertama kali dimunculkan. Begitu pun dengan Bagong yang mengejutkan itu. Tokoh-tokoh "tambahan" ini begitu menggelitik, membingkai drama besar tokoh-tokoh utama, tanpa mengganggu dan justru memberikan konteks mengenai gambaran zamannya. Dalam banyak bagian, kehadiran mereka menjadikan film ini sangat menghibur.

Bila ada yang bisa disebut sebagai kekurangan, film ini merengkuh rentang waktu yang teramat panjang, dimulai sejak Tjokro masih kecil dan diruwat di Ponorogo. Dengan pijakan sejauh itu, maka ada bagian yang terasa begitu melompat, ketika pada adegan berikutnya kita sudah menyaksikan Tjokro punya istri, memutuskan keluar dari pekerjaannya di sebuah kantor pemerintahan, dan membuat marah mertuanya. Sepertiga bagian awal film ini, dengan demikian, terasa sebagai sebuah "kronik peristiwa". Namun, selebihnya, kisah mengalir runut, enak diikuti.

Setelah 'Mata Tertutup', ini adalah film Garin yang paling "ngepop" dengan bonus kekayaan visual dan gaya narasi yang setara dengan 'Opera Jawa'. Jangan bayangkan sebuah film "berat" yang "terlalu nyeni" dan sulit dipahami. Tentu saja, ada debat-debat mengenai masalah-masalah kebangsaan dan kerakyatan di masa itu, yang terjadi antara anak-anak muda murid-murid Tjokro. Kita akan bertemu dengan Semaoen, Darsono, Muso, Agus Salim hingga Koesno (Sukarno). Namun, semua itu direkonstruksi dengan menarik, dalam gaya pemanggungan ala teater tanpa terlepas dari alur.

Lihat, misalnya, bagaimana Tjokro yang selalu bertanya pada Agus Salim, "Sampai di mana hijrah kita?" duduk di sebuah panggung ludruk. Agus Salim, anak muda dari Sumatera yang selalu tampil necis dengan jasnya, berdiri di sisinya. Inilah yang konsisten dari Garin: filmnya selalu menjadi tempat bagi kembalinya seni-seni pinggiran, daya-daya hidup yang terlupakan, dari lagu dolanan hingga kidungan ala Cak Kartolo.

Sungguh ajaib dan mengejutkan, bahwa semua itu masih bisa dilakukan (baca: diselipkan) oleh Garin di sebuah film biopik dan sejarah, yang dalam common sense menghendaki keketatan dalam narasi, data dan informasi. Orang bisa sepakat dan suka, atau sebaliknya, merasa semua ini aneh, tapi Garin selalu punya celah untuk membuat terjemahan bebas, tafsir-tafsir yang radikal, hingga kita bisa menyaksikan aktris Chelsea Islan dalam persembahan akting terbaiknya sebagai Stella, duduk di ayunan membaca puisi Tagore bersama sahabatnya, Bagong. Ya, Bagong yang anaknya Semar itu!







(Is Mujiarso/Is Mujiarso)

Hide Ads