'Melancholy Is A Movement': Biar Nanti Penonton Mikir

'Melancholy Is A Movement': Biar Nanti Penonton Mikir

- detikHot
Senin, 06 Apr 2015 11:24 WIB
Melancholy Is A Movement: Biar Nanti Penonton Mikir
Jakarta - Sutradara Joko Anwar dalam film garapan Richard Oh ini bermain lakon sebagai tokoh utama bernama Joko, dan berprofesi sebagai sutradara film persis seperti di kehidupan nyata. Ia pun diceritakan berteman dengan Upi (sutradara 'Realita, Cinta dan Rock n Roll'), aktor Ario Bayu, Fachry Albar, Amink, Nazira C Noer, dan masih banyak lagi yang lainnya yang mana merupakan sahabat-sahabatnya pula di keseharian.

Alkisah, Joko sang sutradara tengah kehilangan semangatnya untuk berkarya, hingga datanglah satu tawaran padanya untuk menggarap sebuah film religi, jenis film yang nampaknya ia jauhi betul. Namun, di saat tak ada proyek lain yang bisa ia kerjakan, ditambah tagihan sewa kantor yang musti ia lunasi, Joko pada akhirnya menyanggupi tawaran tadi. Tapi, bukan sembarang film religi yang ia buat, ada sentuhan-sentuhan artistik nyeleneh yang ia terapkan ke dalam film religinya tersebut. Adegan ia tengah syuting mengarahkan Ario Bayu berakting di depan kamera di sebuah studio kocak juga; Ario Bayu tidak memahami apa keinginan Joko sebagai sutradara hingga mereka kemudian sedikit cekcok.

Ada lagi adegan kocak lainnya; Joko Anwar memberi saran pada Upi, temannya sesama sutradara yang sedang syuting FTV, "Lo taruh aja kamera depan aktor lo, suruh dia diam dan kamera zoom ke mukanya biar nanti penonton mikir dan merasakan ada sesuatu yang deep-deep gimana gitu." Nah, persis seperti itu pula sebenarnya yang dilakukan Richard Oh dalam menggarap film ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan, oh ya, segitu saja adegan kocaknya, lainnya lebih sering miss ketimbang hit. Sisanya adalah adegan-adegan surealis yang tumpang tindih silih berganti menghiasi layar yang konon penuh filosofi dan metafora.

Bercerita soal sutradara idealis bernama Joko yang secara sengaja diperankan oleh sutradara betulan Joko Anwar tak berarti film ini soal kehidupan Joko Anwar yang sesungguhnya. Beberapa bagian mungkin iya, namun dalam kehidupan nyata yang kita ketahui Joko memiliki kesan pribadi yang periang, talkative, humoris, dan luwes. Sedangkan dalam perannya di film ini Joko terlihat murung sepanjang film, bahkan sering mengacuhkan teman-temannya sendiri yang sedang curhat padanya; ia seperti sosok yang kehilangan semangat dan gairah untuk hidup.

Dalam eseinya 'Mourning and Melancholia' Freud menyamakan "melancholy" dengan patah semangat dan apati akan rasa depresi. Bapak psikoanalisis itu juga merujuk "melancholy" pada narsisisme. Di film ini karakter Joko lebih terasa sebagai orang yang depresif ketimbang melankolis, setidaknya kesan itulah yang nampak dari akting yang diperlihatkan Joko Anwar kepada kita.

Richard Oh mungkin sepaham dengan Freud soal teori "melancholy" tadi. Keputusannya untuk mengajak segenap teman-temannya berakting narsis sebagai diri mereka masing-masing membuat teori Freud lengkap teraplikasi dalam filmnya.

Berbeda dengan Freud, para ahli psikologi yang hidup setelahnya berteori bahwa melankoli dan depresi adalah dua hal yang berlainan; bahwa depresi merupakan keadaan emosional dari sikap tawakal (berserah diri), sedangkan melankoli tidak. Apapun teorinya, bila karakter bernama Joko di film ini bukanlah Joko Anwar, apakah ia manifestasi dari Richard Oh sendiri?

Saya menduga yang melankolis bukanlah Joko, melainkan Richard Oh sang sutradara yang tak ikut tampil di film. Selepas membuat 'Koper' pada 2006 --tersebab ia melankolis, idealis dan keras kepala-- maka sembilan tahun kemudian inilah karya film terbarunya. Dan, ia masihlah Richard Oh yang sama, yang tak rela berkompromi dengan selera penonton kebanyakan. Jangankan meminta Richard Oh untuk membuat film religi, memintanya membuat film drama yang biasa-biasa saja rasanya mustahil. Itu mungkin soal prinsipnya yang tak bisa diganggu gugat.

Singkatnya, 'Melancholy is a Movement' adalah film yang jauh lebih njelimet ketimbang 'Opera Jawa'-nya Garin Nugroho, maupun 'Babi Buta yang Ingin Terbang'-nya Edwin sekalipun. Dibandingkan dengan 'Melancholy is a Movement', film 'Opera Jawa' jadi terlihat seperti 'Habibie & Ainun' yang kisahnya asik dan gampang dicerna itu.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads