Film '2014': Thriller Politik Gaya Infotainment

Film '2014': Thriller Politik Gaya Infotainment

- detikHot
Rabu, 04 Mar 2015 11:24 WIB
Jakarta -

Alkisah calon presiden pada pemilu 2014, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy, 'Negeri Tanpa Telinga'), dijebak dengan tuduhan pembunuhan terhadap seorang pejabat di sebuah kamar apartemen. Saat korban tergeletak tak bernyawa dengan luka tembak, Bagas berada di sana tepat ketika sejumlah polisi berdatangan ke TKP, sehingga ia tak bisa berkilah lagi.

"Kalau saya tidak menang, berarti Indonesia sudah kalah" begitu jargon Bagas ketika berkampanye, diucapkan dengan nada jumawa penuh percaya diri. Bagas diceritakan sebagai sosok yang bakal memberantas habis praktik korupsi di lembaga pemerintahan. Tak heran bila kemudian ada orang(-orang) yang merasa terancam dan berusaha menyingkirkannya dari panggung politik. Namun, siapa "aktor" yang menginginkannya tersingkir? Calon presiden dari kubu lawankah? Atau, ada dalang penuh kuasa yang bersembunyi di balik panggung?

Sebagai sosok calon presiden bercitra bersih serta paling dielu-elukan masyarakat dibandingkan dua orang lawannya, pesona Bagas rupanya tak begitu bersinar di lingkup keluarganya sendiri. Ia bukanlah sosok ayah yang ideal, setidaknya bagi Ricky (Rizky Nazar), Bagas dinilai terlalu mementingkan urusan politiknya hingga mengesampingkan keluarganya sendiri. Untuk menunjukkan sebegitu acuhnya tabiat sang ayah terhadap anaknya sendiri, Ricky sampai-sampai perlu bertanya; "Apa nama sekolah Ricky, Pa?" Dan, Bagas tak bisa menjawabnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Drama ayah-anak ini hanya sekelumit dari rentetan kisah yang bakal Anda jumpai dalam film berdurasi hampir dua jam ini. Ada banyak intrik, aksi kelahi serta adegan kejar-kejaran menantang maut dalam film bergenre political thriller garapan Rahabi Mandra bersama Hanung Bramantyo (keduanya terlibat dalam penggarapn 'Hijab') ini.

Sekilas, apa yang ditawarkan film ini memang terdengar seksi. Tambahkan plot pertikaian antarpolisi dengan agenda terselubung, lobi-lobi politik yang melibatkan RI-1, pembunuhan terhadap seorang pengacara idealis (diperankan oleh Donny Damara), pencurian data rahasia. Belum lagi sepak terjang Ricky yang berusaha mengungkap kebenaran atas fitnah yang menimpa ayahnya. Sayangnya, kesan seksi yang dimiliki film ini cukup berhenti pada premisnya saja. Sebagai sebuah produk jadi, film ini tak tergarap dengan maksimal.

Mengisahkan intrik dunia politik berskala nasional, didukung jajaran aktor kelas wahid, alih-alih menjadi tontonan yang elegan nan menyegarkan, '2014: Siapa di Atas Presiden' malah lebih sering tampil konyol. Lihat misalnya bagaimana cara Ricky menyusup ke kamar apartemen yang semestinya dilengkapi sistem pengamanan yang memadai. Dalam film, apartemen ini hanya dijaga oleh dua orang satpam, dan kunci serep tiap-tiap kamar tergantung di ruang pos penjagaan itu. Dua orang banci diminta Ricky untuk mengelabui kedua satpam tersebut. Setelah kedua satpam itu lari terbirit-birit akibat dikerjai banci, Ricky akhirnya berhasil mengambil kunci serep yang ia inginkan. Sebegitu mudahnya, tak perlu kartu akses khusus yang biasanya digunakan untuk dapat menaiki lift atau untuk membuka pintu berpengamanan khusus.

Pada saat lain, Ricky menyusun rencana agar mendapatkan perhatian media televisi. Cara yang ia tempuh dengan memanfaatkan media sosial untuk membangun opini publik agar citra ayahnya tetap baik. Lewat Twitter ia membeberkan bahwa ada konspirasi politik di balik kasus yang menimpa ayahnya. Namun yang terjadi kemudian, setelah cuitannya berhasil menjadi trending topic, bukannya orang stasiun TV yang mencari-cari dirinya untuk diundang hadir ke acara talkshow, melainkan Ricky sendiri yang menghubungi orang stasiun TV. Lalu untuk apa ia repot-repot ngetwit kalau untuk tampil di TV "ternyata" bisa dilakukan dengan meminta langsung melalui telepon? Di acara talkshow yang kemudian digelar, yang dibahas bukan pula hal-hal yang dikultwitkan Ricky berkaitan soal kasus yang menimpa ayahnya. Duh, Gusti!

Penulis skenario Rahabi Mandra dan Ben Sihombing ('Soekarno') terlalu menyederhanakan penyelesaian dari konflik-konflik yang mereka bangun dalam skala cerita film yang teramat besar. Ide cerita khas Hollywood, eksekusi khas lenong Betawi. Dan, seakan naskah film ini belumlah cukup membuatnya jadi tontonan yang cupu menggelikan, editing dari Cesa David Lukmansyah tak membuatnya jadi lebih baik. Entah ada motivasi apa selain untuk menggeber efek dramatis semata, namun pilihan sang editor untuk membuat gambar di setiap ujung adegan di-freeze lalu dibuat black and white sebelum berganti ke adegan lain adalah konyol --bila tak mau dianggap mengganggu. Seolah-olah rujukan film ini dalam menangani editing adalah program tayangan infotainment semacam 'Insert Investigasi' atau 'Silet'.

Adegan-adegan kelahi yang dilakukan oleh Atiqah Hasiholan sebagai polwan tangguh lawan Rio Dewanto sebagai pembunuh mematikan memang asik untuk disaksikan. Keduanya terlihat mampu memainkan koreografi pertarungan maut dengan amat meyakinkan. Namun, sebatas itu saja yang dapat saya nikmati dari suguhan film ini. Lainnya tidak. Cerita anak SMA tingkat akhir yang bisa jadi jagoan menumpas krimimal politik paling berkuasa di negeri ini saya anggap tak ubahnya cerita lenong saja; sekadar untuk haha hihi bodor-bodoran film ini bolehlah. Setidaknya, akan ada banyak hal untuk ditertawakan selepas kita menontonnya.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads