'Gunung Emas Almayer': Hanyut dalam Tragedi di Malaka Abad ke-19

'Gunung Emas Almayer': Hanyut dalam Tragedi di Malaka Abad ke-19

- detikHot
Senin, 10 Nov 2014 10:52 WIB
Jakarta - Judul film ini seakan menegaskan bahwa kita bakal diajak berpetualang ala Indiana Jones mencari harta karun. Ada gontok-gontokan dengan beberapa musuh dan adegan-adegan aksi kelahi atau tembak-menembak adalah hal lumrah yang biasa kita temui dalam film-film petualangan. Namun, bukan itu yang bakal kita dapatkan dari menonton film ini. Melainkan, drama tragedi ala Shakespeare yang terjadi di Malaka pada abad ke-19.

Penggunaan judul 'Gunung Emas Almayer' lebih terasa sebagai trik marketing untuk menggaet penonton di Indonesia. Judul tersebut memang lebih mengundang rasa penasaran ketimbang judul versi Malaysia-nya, 'Hanyut: Almayer's Folly' --diangkat dari novel klasik berjudul Almayer's Folly (Kebodohan Almayer) karangan Joseph Conrad. Keputusan untuk menggunakan judul 'Gunung Emas Almayer' memang agak "menjebak", namun untungnya, saya terperosok masuk ke jebakan yang tak mencelakakan.

Film dibuka oleh suara teriakan pilu seorang ibu yang anak gadisnya dibawa pergi ke negeri seberang. Ibu ini bernama Mem, warga lokal Sambir di tanah pelosok Malaysia zaman dahulu. Mem dinikahi orang Belanda bernama Kasper Almayer, dan anaknya yang dibawa pergi itu adalah Nina, sengaja dikirim ke Singapura untuk mendapatkan pendidikan ala Barat sebagaimana ayahnya berasal. Mem merana untuk waktu yang lama, dan itu membuatnya begitu membenci Almayer. Almayer sendiri merupakan pedagang yang tak kaya-kaya amat, dan ia merasa terjebak tak berdaya di tanah Malaka itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepulangan Nina yang kini beranjak dewasa mengubah ritme hidup Almayer. Ia jadi memiliki tujuan pasti untuk segera meninggalkan tanah Malaka dan bertolak ke Belanda, negeri leluhurnya yang selama hidupnya hanya bisa ia bayangkan dalam benaknya saja. Ia ingin mengajak Nina yang baginya adalah seorang kulit putih untuk pulang ke tanah leluhurnya itu. Almayer tak punya uang untung ongkos pulang kampungnya, namun ia punya rencana untuk pergi ke gunung emas. Berdasarkan mitos yang ia dengar, di sana terdapat harta karun yang melimpah ruah.

Datanglah pangeran Dain Maroola yang sesumbar kepada Almayer bahwa ia mengetahui persis letak gunung emas tersebut. Sebagai imbalan bantuan yang hendak ia berikan, Dain Maroola meminta agar Almayer mau menjual senjata api berikut bubuk mesiu kepadanya. Yang tak diketahui Almayer, senjata itu digunakan Dain untuk menyerang serdadu Inggris. Dain kemudian jadi buronan, pun Almayer sebagai bule pedagang senjata dianggap perlu untuk disingkirkan oleh beberapa pihak. Celakanya lagi, Nina sang putri semata wayangnya rupanya kepincut oleh pesona Dain.

Sutradara U-Wei bin Haji Saari ('Perempuan, Isteri dan Jalang', 'Jogho') dianggap melakukan terobosan dalam mengadaptasi cerita klasik tulisan Joseph Conrad yang tak begitu populer ini. Sebab, tak seperti yang pernah digarap oleh sineas lain semisal film versi kongsi Belgia-Prancis berjudul 'La folie Almayer' (Chantal Akerman, 2011) yang sama-sama mengangkat cerita ini, atau bahkan tak seperti versi novelnya sendiri, U-Wei bin Haji Saari memberi porsi penceritaan lebih terhadap tokoh-tokoh seperti Mem, Dain, Raja Sambir, hingga tokoh pedagang Arab yang dalam novelnya sendiri diceritakan sebagai tokoh-tokoh pendukung saja. Di tangan U-Wei, keberadaan orang-orang Melayu jadi terasa begitu penting menentukan plot cerita film ini bergulir.

Menarik menyaksikan permainan lakon beberapa aktor dalam film ini. Ada tiga pelakon asal negeri kita yang ikut bermain, yakni El Manik ('Menumpas Teroris', 'Berbagi Suami') sebagai Raja Ibrahim yang begitu mencuri perhatian. Ia amat luwes memainkan perannya dan memberi gravitas yang sulit untuk ditepis. Sementara itu, Alex Komang ('Pacar Ketinggalan Kereta', '9 Summers 10 Autumns') terasa kurang maksimal dalam perannya sebagai Abdullah sang saudagar Arab. Kehadiran Rahayu Saraswati ('Hati Merdeka') sebagai si penjual kue yang dibakar api cemburu, walau keberadaannya terasa kecil dan tak begitu penting, jadi pemantik yang efektif untuk masuk ke babak akhir paling dramatis cerita film ini.

Aktris Malaysia Sofia Jane ('Perempuan, Isteri dan Jalang') berperan cukup mengesankan sebagai Mem, pun Diana Danielle ('Hantu Gangster', 'Magika') sebagai Nina sama-sama bermain cantik. Pesonanya sebagai gadis desa peranakan Melayu-bule yang menarik hati mampu memberi kesan meyakinkan bahwa ia memang pantas diperjuangkan hatinya oleh pangeran Dain Maroola. Adi Putra ('Don 2') sebagai Dain Maroola memiliki kualitas keaktoran yang tak main-main, khususnya sebagai aktor Melayu, paras dan bakatnya semacam hal langka yang jarang sekali kita temui di perfilman negeri sendiri.

Aktor asal Australia Peter O'Brien (pemeran John Howlett dalam 'X-Men Origins: Wolverine') bermain gemilang sebagai Kasper Almayer. Karakternya berkembang penuh dimensi sepanjang film dari mulai sebagai seorang menyebalkan yang layak dibenci menjadi patut dikasihani di pengujung film. Peter O'Brien memberikan performa seni peran terbaiknya di film ini.

Film yang disebut-sebut sebagai produksi termahal yang pernah dibuat oleh sineas Malaysia ini dipenuhi adegan-adegan dalam bingkai cantik, dialog-dialog menawan khas Melayu kuno ala roman tempo dulu yang barang tentu sulit kita jumpai dalam keseharian modern kini, dan drama tragedi ala Shakespeare seperti yang telah saya singgung sebelumnya. Adegan di akhir film akan membuat Anda mengerti mengapa tokoh utama kita ini, Almayer, adalah orang paling bodoh yang amat malang.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Hide Ads